Sabtu, 30 Maret 2013

ANALISIS WACANA KRITIS PERSPEKTIF FOUCAULT

Bagaimana wacana diproduksi, siapa yang memproduksi, dan apa efek dari produksi wacana? Konsep mengenai wacana mutakhir diperkenalkan oleh Michael Foucault. Wacana menurut pandangan Foucault tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi merupakan sesuatu yang memproduksi yang lain ( gagasan, konsep, atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.
Salah satu yang menarik dari konsep Foucault adalah tesisnya mengenai hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Foucault mendefinisikan  kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli lain.  Kuasa oleh Foucault tidak dimaknai dalam term “kepemilikan”, di mana seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu. Kuasa, menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Kalau banyak teoretisi lebih memusatkan perhatian pada negara, maka Foucault meneliti kekuasaan lebih kepada individu, subjek yang kecil. Menurut Foucault, seperti dikutip Bartens, strategi kuasa berlangsung di mana-mana. Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan dengan dunia, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan susunan, aturan-aturan, dan hubungan-hubungan itu dari dalam. Sebagai contoh dapat disebut hubungan-hubungan sosial ekonomi, hubungan-hubungan yang menyangkut keluarga, seksualitas, media komunikasi, dinas kesehatan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Setiap masyarakat mengenal beberapa strategi kuasa yang menyangkut kebenaran: beberapa diskursus diterima dan diedarkan sebagai benar. Ada instansi-instansi yang menjamin perbedaan antara benar dan  tidak benar. Ada macam-macam aturan dan prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan kebenaran.
Bagi Foucault, kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan, menurut Foucault, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Hampir tidak mungkin kekuasaan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran. Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran di sini, oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit, bukan juga sebuah konsep yang abstrak. Akan tetapi, ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khayalak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Di sini, setiap kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran trtentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan.
Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Foucault menolak pandangan yang menyatakan kekuasaan sebagai subjek yang berkuasa (raja, negara, pemerintah, ayah, laki-laki) dan subjek yang dianggap melarang, membatasi, atau menindas. Menurut Foucault, kuasa tidak bersifat subjektif. Kuasa tidak bekerja dengan cara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Kuasa mereprodusir realitas, mereprodusir lingkup-lingkup objek-objek, dan ritus-ritus kebenaran. Strategi kuasa tidak bekerja melalui penindasan, melainkan melalui normalisasi dan regulasi, menghukum dan membentuk publik yang disiplin. Publik tidak dikontrol lewat kekuasaan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan disiplinkan lewat wacana. Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial, di mana memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagai baik atau buruk, sebagai bentuk pengendalian perilaku. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk subjektivitas dan perilaku lebihdari secara sederhana digambarkan sebagai bentuk restriksi. Jadi khalayak ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik, tetapi dengan wacana dan mekanisme, berupa prosedur, aturan, tata cara, dan sebagainya. Masalah ini terutama diuraikan oleh Foucault dalam bukunya, discipline and punish. Foucault menganalisis hilangnya bentuk menghukum yang terjadi pada paruh kedua abad ke-18 berbentuk hukuman pancung atau cambuk yang ditontonkan di depan publik digantikan oleh penjara hingga kini. Hal ini tampak dalam pelaksanaan kuasa menghukum tubuh secara kejam sambil mempertontonkan di depan publik, menuju pelaksanaan hukuman yang semakin tidak meyentuh tubuh. Malahan arahnya menjadi teknologi normalisasi dan koreksi terhadap individu yang menjadikan individu patuh dan berguna. Hukuman keji dihapuskan dan diganti dengan hukuman yang tidak sewenang-wenang. Undang-undang yang memuat ketentuan penghukuman ditetapkan. Kepada individu diberikan aturan tertulis mengenai hukuman bagi setiap pelanggaran. Hukuman diterapkan bukan untuk balas dendam, tetapi mencegah pengulangan tindak kejahatan. Pelaksanaan hukuman diarahkan pada kesadaran, hasrat, dan kehendak individu, menjadi penaklukan ide. Gagasan untuk berbuat jahat dkalahkan dengan pikiran beratnya hukuman. Kuasa menghukum dilaksanakan lebih untuk menarik dan menimbulkan kesadaran pada individu. Di dalam strategi baru ini, bukan lagi tubuh fisik yang disentuh kuasa, melainkan jiwa, pikiran, kesadaran, dan kehendak individu yang mampu menangkap tanda-tanda yang tersebar di dalam tubuh masyarakat. Di dalam prosedur pemenjaraan, hukuman dilaksanakan bukan untuk menghapus kejahatan atau penjahat, melainkan untuk mengoreksi, melatih, dan menormalkan individu. Hukuman berfungsi untuk menjadikan individu patuh berguna dan berguna. Mekanisme penghukuman bukan untuk menghukum tetapi juga pendisiplinan, pengawasan, pengontrolan, pencatatan, dan sebagainya. Atau mengutip Dreyfus dan Rabinow, proses penghukuman itu lebih lewat prosedur dan mekanisme untuk mengontrol dan mengendalikan individu, daripada kontrol secara fisik. Dengan mekanisme itu, seseorang dipaksa untuk mengikuti aturan dan mekanisme yang telah diciptakan sehingga publik menjadi terkontrol, patuh dan disiplin.
Menurut Staple, apa yang digambarkan oleh Foucault mengenai disiplin, normalisasi, dan kontrol tersebut merupakan gambaran umum kehidupan modern atau kapitalisme. Dalam kapitalisme, kehidupan pada dasarnya tidak diatur dan dikontrol lewat sebuah kekuasaan yang sifatnya represif dan tunggal, tetapi lewat sebuah mekanisme, aturan, dan tata cara yang mengontrol kehidupan masyarakat agar terkontrol dan disiplin. Apa yang diuraikan oleh Foucault mengenai normalisasi dan disiplin ini menjadi praktik kehidupan modern. Kekuasaan dalam masyarakat modern terutama tidak bekerja secara terang-terangan dengan adanya raja yang memerintah atau adanya otoritas individual yang berkuasa dan mengatur kehidupan seseorang. Kekuasaan justru bekerja secara tidak terlihat, tanpa disadari dengan praktik disiplinisasi. Teknik disiplinisasi ini diantaranya melalui penetapan aturan dan berbagai prosedur kegiatan, jadwal, pelaksanaan, dan tujuan kegiatan yang menghasilkan keteraturan. Kontrol  juga dilakukan dengan memberi ganjaran bagi yang mengikuti dan hukuman bagi yang melanggar, bahkan kontrol mental lewat aturan moral dan agama. Lewat disiplin tersebut, individu modern dikontrol tanpa dia sadari. Semakin dia merasa bebas, sesungguhya semakin ia masuk dalam perangkap kekuasaan yang mengontrol dan mengatur dirinya. Kehidupan di kantor, di jalan, di rumah sakit, sekolah, semuanya menggambarkan keinginan akan control dan disiplin tersebut. Misalnya, kehidupan di sekolah. Di sini tidak ada kekuasaan yang sifatnya represif dan tunggal, guru tidak bisa mengawasi murid-muridnya satu per satu sepanjang hari sebagai polisi moral. Akan tetapi, kehidupan di sekolah itu sendiri dikontrol lewat serangkaian mekanisme: ujian untuk menguji penangkapan murid akan mata pelajaran yang diberikan, mekanisme kenaikan kelas untuk mengukur keberhasilan murid, dan rangking untuk melihat tingkat kepintaran murid. Semua mekanisme itu membentuk jaring kekuasaan yang memaksa seorang murid mengikuti aturan sehingga menjadi terkontrol, patuh, dan disiplin. Kalau  ia ingin naik kelas, ia harus belajar, harus masuk sekian kali, dan sebagainya. Sebuah mekanisme yang sifatnya menyentuh psikis bukan pengawasan dalam arti fisik yang dilakukan oleh guru secara terus-menerus. Di sini, ruang kelas itu sendiri menjadi sebuah jaring kekuasaan yang menyebarkan wacananya terus-menerus. Kepintaran seseorang diukur dari raport yang dia terima enam bulan sekali, kalau buruk dia tidak akan naik kelas, dan kalau tidak naik kelas ia akan dicap bodoh dan seterusnya.
Hal yang sama terjadi di ruang-ruang kerja. Meskipun kekuasaan dan wewenang tertinggi ada pada direktur, bukan berarti ia akan menjadi polisi yang akan mengawasi pekerjanya terus-menerus, 24 jam. Pengawasan dan kontrol tidak berlangsung dalam cara dan sifat semacam itu, tetapi lewat serangkaian mekanisme. Jenjang karir, mekanisme tunjangan, gaji, absensi dan lainnya, yang pada dasarnya adalah mekanisme yang mengontrol secara terus menerus keadaan psikis pekerja. Mekanisme tersebut pada dasarnya juga membentuk individu yang diinginkan. Pekerja yang baik adalah masuk kerja dari sekian sampai jam sekian, produktif, menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, tidak pernah bolos dan sebagainya. Mekanisme, seperti jenjang karir, mengontrol dan mengidentifikasi mana pekerja yang bagus dan berprestasi sehingga perlu diberi penghargaan, dan mana pekerja yang tidak bagus sehingga perlu dihukum (dengan tidak menaikkan pangkat atau gaji). Wacana seperti itu membentuk individu dan mengklasifikasikannya dalam pekerja yang baik dan pekerja yang tidak baik.
Kontrol dan membentuk individu yang patuh dan disiplin adalah wujud kekuasaan yang ada di mana-mana. Bagi Foucault kekuasaan ada di mana-mana (omnipresent), yang selalu dinyatakan lewat hubungan, dan diciptakan dalam hubungan yang menunjangnya. Kekuasaan selalu beroperasi melalui konstruksi pengetahuan. Melalui wacana, hubungan antara kekuasaan di satu sisi dengan pengetahuan di sisi lain terjadi. Foucault mengatakan bahwa hubungan simbol dan yang disimbolkan itu bukan hanya referensial, melainkan juga produktif dan kreatif. Simbol yang dihasilkan wacana itu, antara lain melalui bahasa, moralitas, hukum, dan lainnya, yang tidak hanya mengacu pada sesuatu, melainkan turut menghasilkan perilaku, nilai-nilai, dan ideologi. Kehidupan bukan diatur lewat serangkaian represi, melainkan melalui kekuatanya memberikan definisi dan melakukan regulasi. Berbagai regulasi itu diantaranya yang menentukan kita, memilah, mengklasifikasikan, dan menggolongkan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindari, mana yang sah dan manan yang tidak. Di sini, kekuasaan dipahami sebagai serangkaian prosedur yang memproduksi, meyebarkan dan memproduksi pernyataan-pernyataan. Misalnya, definisi normal dan abnormal jelas merupakan pendefinisian sosial. Lewat definisi semacam ini, individu dikontrol bahwa yang normal dan baik sepert ini, yang tidak normal sehingga tidak baik seprti itu. Kalau ingin baik dan disebut normal, berperilakulah seperti ini, sebab kalau berperilaku seperti itu tidak normal atau tidak baik. Hal yang sama terjadi pada pendefinisian sosial seperti banci, wadam, homoseksual, yang kesemuanya merupakan kontrol social. Pendefinisian ini senada dengan mekanisme kontrol terhadap orang-orang  yang didefinisikan sebagai gila, nakal, pezinah, sakit, komunis, liberal, kejantanan, kewanitaan, dan sebagainnya. Hubungan kita dengan realitas diatur melalui berbagai wacana, yang menentukan bagaimana sehahrsnya dan sebaiknya kita bertindak, mmbentuk kepercayaan, konsep, dan ide-ide yang kita anut.
Melalui wacana, individu bukan hanya didefinisikan tetapi juga dibentuk, dikontrol, dan didisiplinkan. Misalnya, pembagian kerja dalam rumah tangga. Wacana yang berkembang menyatakan laki-laki yang bekeja diluar rumah yang menghidupi keluarganya sementara wanita berada di dalam rumah mengurusi rumah tangga dan merawat anak-anak. Definisi pembagian kerja wanita dan laki-laki ini membentuk individu bgaimana seharusnya laki-laki yang baik itu dan bagaimana pula menjadi wanita yang baik. Keberhasilan laki-laki kalau ia bisa menghidupi keluarganya, dan akan dianggap gagal kalau ekonomi rumah tangga kacau. Hal yang sebaliknya dikenakan pada wanita. Kalau ada wanita yang bekerja, apalagi malam hari, akan ditanggapi secara buruk menelantarkan anak-anak. Sehingga kalau karena pekerjaanya itu, anak-anak menjadi tidak terurus dan nakal. Maka yang disalahkan adalah wanita karena ia memang yang bertugas mendidik anak-anak. Berbagai simbol wacana sperti moral (laki-laki baik seperti ini, wanita baik seperti itu), aturan hukum (wanita yang bekerja malam hari harus meminta izin dari suami) membentuk jarring bagaimana hubngan kekuasaan itu dikontrol dan didisiplinkan.

A.   Produksi Wacana

Bagaimana terbentuknya bangunan wacana? Studi analisis wacana bukan sekedar mengenai pernyataan, tetapi juga struktur dan tata aturan dari wacana. Sebelum membahas mengenai struktur diskursif, perlu diketahui bagaimana keterkaitan antara wacana dengan kenyataan. Realitas dipahami di sini sebagai seperangkat konstruk yang dibentuk melalui wacana. Realitas itu sendiri menurut Foucault, tidak bisa didefinisikan jika kita tidak mempunyai akses dengan pembentukan struktur diskursif tersebut. Kita mempersepsi dan bagaimana  kita menafsirkan objek dan peristiwa dalam sistem makna tergantung pada struktur diskursif.  Struktur diskursif ini, oleh Foucault, membuat objek atau peristiwa terlihat nyata oleh kita. Struktur wacana dari realitas itu, tidaklah dilihat sebagai system yang abstrak dan tertutup.
Menurut Foucault, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif tersebut: wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang benar. Persepsi kita tentang suatu objek dibentuk dengan dibatasi oleh praktik diskursif: dibatasi oleh pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa yang benar dan yang lain tidak. Ini seperti kalau kita mendengar kata film india, maka yang terbayang adalah film dengan nyanyian sambil menari, dengan tokoh utama yang mengalahkan musuh birokrat atau pejabat pemerintah dan kepolisian yang korup. Wacana tertentu membatasi pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan menghayati itu sebagai sesuatu yang benar. Atau dalam bahasa Macdonell, wacana itu merupakan suatu arena di mana khalayak berpikir dengan jalan tertentu, bukan yang lain.
Wacana membatasi bidang pandangan kita, mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batas-batas yang telah ditentukan. Ketika aturan dari wacana dibentuk, penyataan kemudian disesuaikan dengan garis yang telah ditentukan. Di sini, pernyataan yang diterima dimasukkan dan mengeluarkan pandangan yang tak diterima tentang suatu objek.  Objek bisa jadi tidak berubah, tetapi struktur diskursif yang dibuat membuat objek menjadi berubah. Sara Mills memberi contoh bakteri di lautan, apakah didefinisikan sebagai hewan ataukah tumbuhan. Pada masa lalu, makhluk ini dikategorikan dan diklasifikasikan sebagai hewan, tetapi kini ia diklasifikasikan dan dikategorikan sebagai tumbuhan. Tidak ada yang berubah dari makhluk ini, perbedaan justru karena struktur diskursif yang mengarahkan dan membatasi kita melihat bakteri lautan itu sebagai tumbuhan bukan hewan, dan kemudian memperlakukan dan mempelajari dan menempelkan sifat-sifat kepada makhluk itu sebagai tumbuhan. Contoh yang paling dramatis barangkali adalah bagaimana struktur diskursif yang dibangun tentang PKI sebagai partai terlarang. Pada masa orde lama partai ini adalah partai resmi bahkan masuk dalam lima besar partai yang memperoleh suara terbanyak. Di masa orde baru, PKI justru menjadi partai terlarang dengan berbagai keburukannya. Tidak ada yang berubah dari PKI ini (sebagai objek), tetapi yang membuat ia terlarang adalah struktur diskursif yang secara sengaja dibangun orde baru bahwa PKI ini partai yang suka memberontak dan anti-tuhan. Wacana semacam ini membatasi lapangan pandangan sehingga ketika PKI dibicarakan yang muncul adalah kategori PKI sebagai partai pemberontak dan anti-Tuhan, bukan yang lain.
Wacana membentuk dan mengkonstruksikan peristiwa tertentu  dan gabungan dari peristiwa-peristiwa tersebut dalam narasi yang dapat dikenali oleh kebudayaan tertentu. Dalam prosesnya, kita mengkategorisasikan dan menafsirkan pengalaman dan peristiwa mengikuti struktur yang tersedia dan dalam menafsirkan tersebut kita sukar keluar dari struktur diskursif  yang terbentuk. Struktur diskursif  tersebut adalah bangunan besar, dan secara sistematis batas-batas itu berbentuk sebuah episteme, perangkat dari struktur diskursif sebagai suatu keseluruhan melalui mana kebudayaan berpikir. Melalui episteme itu, kita mengerti dan memahami suatu objek dengan pernyataan dan pandangan tertentu, dan tidak yang lain. Unit-unit diskursif ini mengasumsikan koherensi dan kohesivitas sebagai suatu ide.  Sehingga kita bisa mengatakan sebagai “pandangan orde baru” atau “pandangan orde lama”, dan sebagainya.
Misalnya, struktur diskursif  yang dibentuk oleh orde baru. Salah satu yang kuat adalah normalisasi. Dalam praktik diskursif yang dibangun orde baru, agar pembangunan dapat berjalan maka keadaan harus normal, stabil, yang memungkinkan terjadinya pembangunan. Salah satu aspek yang harus ditata adalah partai politik, karena partai politik adalah sumber konflik. Partai politik dalam sejarahnya selalu egois, lebih mementingkan kepentingan partainya, sehingga pemerintahan tidak dapa berjalan karena selalu ganti pemerintahan. Agar tidak terjadi demikian, sumber konflik itu dibuat normal, ditata kembali sehingga partai politik tidak menjadi penghalang kelangsungan pembangunan. Partai politik harus disederhanakan, dan dibatasi geraknya. Struktur diskursif inilah yang dibangun oleh orde baru dan disebarkan lewat pernyataan pidato dari pejabat pusat sampai daerah, lewat buku-buku ajar sekolah, dan sebagainya. Bagaimana struktur diskursif ini bekerja dapat dilihat dari bgaimana  cara berpikir kita didikte agar berpikir dan berpandangan dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif, bukan dengan yang lain. Kalau pemerintah menghendaki seseorang menjadi pemimpin partai tertentu, tindakan tersebut tidak dilihat sebagai intervensi dan otoriterianisme tetapi upaya menata kehidupan politik.

B.    Wacana terpinggirkan

            Menurut Michel Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi membentuk melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat.  Dalam banyak kajiannya mengenai penjara, seksualitas, dan kegilaan, Foucault menunjukkan bahwa konsep seperti gila, tidak gila, sehat, sakit, benar, dan salah, bukanlah konsep abstrak yang datang dari langit tetapi dibentuk dan lestrikan oleh wacana-wacana yang berkaitan dengan bidang-bidang psikiatri, ilmu kedokteran, serta ilmu pengetahuan pada umumnya. Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai macama wacana yang berbeda satu sama lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana-wacana lainnya akan “terpinggirkan” (marginalized) atau “terpendam” (submerged).
            Ada dua konsekuensi dari wacana dominan tersebut. Pertama, wacana dominan memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami. Pandangan yang lebih luas menjadi terhalang, karena ia memeberikan pilihan yang tersedia dan siap pakai. Pandangan dibatasi  hanya dalam batas-batas struktur diskursif tersebut, tidak dengan yang lain. Kedua, struktur diskursif yang tercipta atas suatu objek tidaklah berarti kebenaran. Batas-batas yang tercipta tersebut bukan hanya membatasi pandangan kita, tetapi juga menyebabkan wacana lain yang tidak dominan menjadi terpinggirkan. Setiap kekuasaan pada dasarnya berusaha membentuk pengetahuannya sendiri,  menciptakan rezim  kebenaran sendiri. Kekuasaan selalu datang dengan memproduksi suatu ekonomi politik kebenaran, melalui mana kekuasaan dengan begitu dimapankan, disusun, dan diwujudkan serta dilestarikan. Oleh karena itu, dalam analisis wacana kita perlu melihat bagaimana produksi wacana atas suatu hal diproduksi dan bagaimana repreduksi itu dibuat oleh kelompok atau elemen dalam masyarakat. Misalnya  kita akan mengadakan analisis mengenai bagaimana wacana komunisme ditampilkan dalam pemberitaan media. Pertama kali harus kita lakukan adalah melihat bagaimana produksi kebenaran mengenai peristiwa komunisme itu dari berbagai kelompok. Yang dilihat dalam analisis wacana bukanlah apa yang sebenarnya terjadi, tetapi bagaimana setiap kelompok, terutama yang terutama yang berkuasa, memproduksi kebenaran atas suatu wacana. Produksi kebenaran wacana itu terutama akan disebarkan dengan berbagai organ yang dia punyai.
            Komunisme adalah suatu wacana paling penting dalam kekuasaan orde baru. Orde baru membangun wacana tentang komunisme  yang menentukan bagaimana komunisme itu harus dipandang  dipahami. Suatu proyek yang melibatkan hamper semua institusi dan disebarkan keseluruh organnya. Lewat sekolah-sekolah dan institusi pendidikan disebarkan pengajaran sejarah yang menggambarkan bagaimana kekuatan komunis itu buruk sekali. Lewat birokrasi dengan membedakan perlakuan yang berbeda kepada yang dituduh punya kaitan atau orang tuanya komunis. Lewat institusi militer, dilakukan dengan melarang orang yang punya indikasi komunis masuk militer. Lewat pemerintah, dengan penerapan litsus. Dan lewat institusi kemasyarakatan dengan pemberian kode tertentu kepada mereka yang diindikasikan punya hubungan dengan komunis dan punya potensi mempunyai ideologi komunis. Dengan penyebaran serentak semacam itu khalayak didikte untuk memandang komunisme sabagi sesuatu yang berbahaya sekaligus sebagai kekuatan yang harus diwaspadai karena setiap saat bisa bangkit.
            Dan inilah pengetahuan yang disebarkan oleh orde baru. Ciri-ciri komunis itu anti-Tuhan, bahkan menganggap orang beragama sebagai musuh. Dalam berpolitik, komunis menghalalkan  segala cara termasuk melakukan teror  terhadap lawan-lawan politik, bahkan kalau perlu dengan pembantaian.
            Strategi politiknya dilakukan dengan memprovokasi rakyat bawah, petani tak bertanah, atau buruh pabrik untuk melakukan aksi sepihak dengan kaum kapital. Dalam berpolitik, komunisme, oportunis, sering kali menusuk dari belakang, memberontak dan sebagainya. Pengetahuan inilah yang ditanamkan ke benak khalayak dikontrol, diatur, didisiplinkan bukan dengan jalan fisik, tetapi lebih kepemikiran, ide sehingga selalu waspada dengan kekuatan komunis. Selain wacana resmi yang diproduksi oleh Negara puluhan tahun tersebut ada wacana lain terutama yang dikembangkan oleh aktivitis mahasiswa, intelektual, dan LSM. Wacana itu diantaranya mengungkapkomunisme hanya dijadikan alat oleh kepentingan militer dan orde baru untuk memperkokoh dan  memperkuat posisi politiknya.
            Sekarang kita lihat bagaimana berita mengenai komunisme ini dalam pemberitaan media (republika, 29 Maret 2000). Berita ini adalah salah satu dari sekian banyak berita mengenai komunisme yang dipicu oleh usulan Gus Dur untuk mencabut Tap MPRS mengenai komunisme. Dari berita tersebut terlihat bagaimana media lebih mereproduksi wcana yang dikembang oleh orde baru. Dalam teks berita tersebut, PKI digambarkan pernah melakukan kudeta/ pemberontakan kepada pemerinta yang sah. Peristiwa yang diacu adalah G30S/PKI dan peristiwa pemberontakan PKI Muso 1948. Dalam berpolitik PKI melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya: meneror, main klaim tanah, menyerobot tanah, dan sebagainya. Cara-cara yang dipandang dapat memprovokasi keresahan dan keguncangan sosial. PKI juga tidak segan-segan melakukan pembantaian terhadap lawan-lawan politiknya dan pihak yang dianggap menghambat tujuan politiknya. Dengan membeberkan sejarah yang buruk, hendak ditekankan di sini bahwa PKI tidak bbisa dipercaya dan selalu menimbulkan kesengsaraan masyarakat. Pengalaman sejarah semacam inilah yang harus menjadi pelajaran dan hikmah agar tidak main-main dengan memperbolehkan hadirnya PKI kembali.
            Teks berita tersebut juga mengembangkan wacana kemungkinan kalau komunisme bangkit kembali di Indonesia. Dalam wacana ini, mencabut tap MPRS berarti memberi kemungkinan  PKI hidup kembali. Dengan pencabutan tap itu PKI dapat menjadi partai politik yang sah dan dapat menjalankan kegiatannya seperti dahulu. Kondisi sosial ekonomi dan politik Indonesia saat ini lahan subur bagi bangkitnya komunisme. Pada saat ketika ekonomi masyarakat Indonesia melorot jauh, ketika kesenjangan anatara penduduk miskin dan kaya sangat tajam, ide-ide komunis yang memperjuangkan kepentingan masyarakat bawah akan banyak menarik perhatian masyarakat. Selain itu, ketidakstabilan politik yang ditandai  dengan perebutan suara dan persaingan antarpartai politik dipandanng sebagai situasi yang disukai oleh komunis.  Retorika yang  banyak dimunculkan adalah adanya paralelisme antara keadaan sosial ekonomi dan politik pada masa 1960-an ditekankan bahwa komunisme sangat mudah hidup ketika masyarakatnya berada dalam kemiskinan, dan akan sukar kalau masyarkatnya makmur. Oleh karena itu, ide pencabutan Tap  MPRS belum saatnya karena hanya akan dimanfaatkan oleh kekuatan PKI.
Proses terpinggirkannya wacana  dalam proses pmberitaan ini membawa beberapa implikasi. Pertama khalayak tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu peristiwa. Di sini tidak harus dikatakan bahwa wacana yang terpinggirkan adalah wacana yang benar mengenai suatu peristiwa, tetapi karena tidak banyak ragam perspektif dari suatu wacana maka dimensi peristiwa tidak lengkap. Kedua, bisa jadi peminggiran wacana menunjukkan praktik ideologi. Sering kali seseorang, suatu kelompok tertentu, suatu gagasan, tindakan, kegiatan terpinggirkan dan menjadi marjinal lewat penciptaan wacana-wacana tertentu. Rasialisme muncul lewat wacana yang berkembang yang menganggap orang kulit hitam sebagai warga kelas dua, identik dengan  kemalasan, kriminalitas, dan obat bius. Wanita juga termajinalkan lewat terbentuknya wacana dominan bahwa mereka lemah, di bawah laki-laki, keibuan, berada di sektor privat, dan sebagainya.

SIMPULAN
Wacana menurut pandangan Foucault tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi merupakan sesuatu yang memproduksi yang lain ( gagasan, konsep, atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.
Bagi Foucault, kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan, menurut Foucault, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa.
Struktur diskursif ini, oleh Foucault, membuat objek atau peristiwa terlihat nyata oleh kita. Struktur wacana dari realitas itu, tidaklah dilihat sebagai sistem yang abstrak dan tertutup.  Wacana membatasi bidang pandangan kita, mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batas-batas yang telah ditentukan. Ketika aturan dari wacana dibentuk, penyataan kemudian disesuaikan dengan garis yang telah ditentukan. Di sini, pernyataan yang diterima dimasukkan dan mengeluarkan pandangan yang tak diterima tentang suatu objek.  Objek bisa jadi tidak berubah, tetapi struktur diskursif yang dibuat membuat objek menjadi berubah.
Proses terpinggirkannya wacana  dalam proses pmberitaan membawa beberapa implikasi. Pertama, khalayak tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu peristiwa. Di sini tidak harus dikatakan bahwa wacana yang terpinggirkan adalah wacana yang benar mengenai suatu peristiwa, tetapi karena tidak banyak ragam perspektif dari suatu wacana maka dimensi peristiwa tidak lengkap. Kedua, bisa jadi peminggiran wacana menunjukkan praktik ideologi. Sering kali seseorang, suatu kelompok tertentu, suatu gagasan, tindakan, kegiatan terpinggirkan dan menjadi marjinal lewat penciptaan wacana-wacana tertentu.

Sumber:
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.

25 komentar:

  1. Permisi mau bertanya pada yg punya blog,yaitu "Setiap kekuasaan disusun,dimapankan dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu",bisa dijelaskan dengan pengertian yg lebih mudah lah,soalnya kurang mengerti hehe?
    Lalu kenapa wacana bisa menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa? Terimakasih semoga berkenan menjawab

    Adie Setiawan

    BalasHapus
    Balasan
    1. "Setiap kekuasaan disusun, dimapankan dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu"
      Jadi, ilmu pengetahuan itu mempengaruhi kekuasaan dalam sebuah wacana. Misalnya berdasarkan ilmu pengetahuan, disadari bahwa hukuman fisik bagi pelaku kriminal tidaklah efektif. Maka, dibuatlah undang-undang hukum pidana. Undang-undang hukum pidana ini merupakan bentuk kekuasaan yang bisa mengurangi tindak kriminal tanpa hukuman fisik.
      Sebuah kebenaran jika hukuman bukan untuk balas dendam, tapi untuk mencegah pengulangan tindak kejahatan. Berdasarkan kebenaran itu dan ilmu pengetahuan mengenai hukum, maka terciptalah wacana hukum pidana yang memiliki efek kuasa terhadap masyarakat.

      Hapus
    2. Nama: Mustikasari
      Nim: A1B110025
      saya akan mencoba menambahkan jawaban pertanyaan dari saudara Adi Setiawan,
      Menurut saya sebuah pengetahuan yang di miliki seseorang itu akan tertanam kuat dalam pikiran seseorang dan tidak secara langsung menimbulkan efek kuasa terhadap seseorang yang memiliki pengetahuan tentang sesuatu tertentu,
      Sebagai contoh:
      Di sekolah telah dibuat sebuah peraturan yang harus dipatuhi oleh semua siswa. Siswa yang telah membaca wacana mengenai peraturan sekolah tersebut secara otomatis telah terkonsep di kepala siswa tentang apa-apa saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan di dalam sekolah. Dan siswa pasti akan mengikuti mematuhi peraturan tersebut. Nah , di sini dapat dilihat bahwa melalui pengetahuan siswa terhadap wacana yang berisikan aturan, sudah mampu membuat siswa tunduk akan aturan yang telah ditetapkan. Nah di sini tanpa di sadari bahwa sebuah wacana peraturan sekolah sudah memiliki unsur kuasa dalam mendisiplinkan siswa-siawa di sekolah.
      hanya melalui pengetahuan terhadap sebuah wacana mengenai peraturan tersebut memiliki untuk mendisiplinkan anak-anak di sekolah.
      Kemudian untuk pertanyaan kedua “kenapa wacana bisa menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa”
      Menurut saya sebuah wacana dapat menyampaikan gagasan mengenai suatu hal. Melalui gagasan tersebut mampu mempengaruhi seseorang untuk memgikuti gagasan yang telah dipaparka oleh seseorang atau kelompok tertentu. Hal yang membuat seseorang mengikuti apa yang telah digagaskan itulah efek kuasanya.
      Sebagai contoh: Adanya sebuah wacana mengenai bahaya narkoba. Setelah membaca wacana tersebut seseorang akan memiliki pengetahuan tentang dampak negatif tentang narkoba. Dan dia pasti akan lebih selektif dalam bergaul agar tidak terpengaruh oleh barang-barang terlarang tersebut.
      Dari contoh di atas jelas bahwa sebuah wacana mampu memberikan efek kuasa agar tidak terjerumus dalam narkoba.

      Hapus
  2. Muklis Dwi Putra
    NIM A1B110038

    "Wacana menurut pandangan Foucault tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi merupakan sesuatu yang memproduksi yang lain ( gagasan, konsep, atau efek)."

    Teman-teman kelompok 6, saya ingin minta penjelasan mengenai kalimat di atas,dan saya harap teman-teman kelompok 6 juga bersedia memberikan contohnya. terimakasih. .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wacana menurut pandangan Foucault tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi merupakan sesuatu yang memproduksi yang lain (gagasan, konsep, atau efek). Maksudnya, ujar Foucault wacana itu bukanlah dipahami sebagai kalimat atau paragraf atau proposisi dalam teks, tetapi merupakan sesuatu yang menghasilkan gagasan, konsep atau efek, dalam konteks tertentu dapat mempengaruhi cara berpikir dan bertindak.

      Contohnya: kampanye pemilu, para calon pemimpin pasti menyampaikan visi dan misi kepada masyarakat. Visi dan misi itu merupakan wacana yang berisi gagasan, konsep, atau efek yang diberikan kepada masyarakat agar memilih mereka. Apabila mereka memilih calon itu, maka wacana itu memiliki efek kuasa yang bisa mempengaruhi pikiran dan tindakan masyarakat.

      Hapus
    2. Nama: Mustikasari
      Nim: A1B110025
      Saya akan memcoba menambahkan tanggapan pertanyaan dari saudara muklis,,
      "Wacana menurut pandangan Foucault tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi merupakan sesuatu yang memproduksi yang lain ( gagasan, konsep, atau efek)."
      Maksud dari kutipan di situ menjelaskan bahwa sebuah wacana itu bukan dipahami hanya dari kalimat- kalimat yang di buat akan tetapi diperkuat dari pemahaman gagasan atau ide apa yang terkandung dalam sebuah wacana.
      Dan untuk contoh yang diberikan kelompok sudah tepat.

      Hapus
  3. Rezky Amelda
    A1B110010

    sedikit ingin minta penjelasan kembali, sebenarnya apa keterkaitan antara analisis wacana kritis dengan wacana terpinggirkan? kemudian tolong jelaskan lagi mengenai apa itu struktur diskursif? karena saya kurang memahami mengenai kedua hal tersebut. Untuk penjelasan kelompok nanti saya ucapkan terima kasih :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Keterkaitan analisis wacana kritis dengan wacana terpinggirkan, yaitu dalam analisis wacana biasanya terdapat berbagai wacana di masyarakat. Hanya saja, adanya kekuasaan membuat ada wacana yang lebih dominan untuk dipilih. Untuk wacana yang tidak terpilih, akan menjadi wacana terpinggirkan. Contohnya wacana PKI pada masa orde baru yang tidak melihat sisi positif dari PKI itu sendiri (menjadi wacana terpinggirkan.
      Struktur diskursif itu membuat objek atau peristiwa terlihat nyata oleh kita. Pandangan kita terhadap suatu wacanapun dibatasi.
      Contoh struktur diskursif tentang PKI sebagai partai terlarang. Pada masa orde lama partai ini adalah partai resmi bahkan masuk dalam lima besar partai yang memperoleh suara terbanyak. Di masa orde baru, PKI justru menjadi partai terlarang dengan berbagai keburukannya. Tidak ada yang berubah dari PKI ini (sebagai objek), tetapi yang membuat ia terlarang adalah struktur diskursif yang secara sengaja dibangun orde baru bahwa PKI ini partai yang suka memberontak dan anti-tuhan. Wacana semacam ini membatasi lapangan pandangan sehingga ketika PKI dibicarakan yang muncul adalah kategori PKI sebagai partai pemberontak dan anti-Tuhan, bukan yang lain.

      Hapus
    2. ada tambahan, pengertian struktur diskursif ialah pandangan tentang sesuatu perkara yang dibentuk dalam batas-batas tertentu, yaitu praktis diskursif atau pandangan yang mendefinisikan sesuatu itu adalah 'benar' dan yang lainnya adalah salah.

      Hapus
    3. Nama: Mustikasari
      Nim: A1B110025M
      Saya akan mencoba untuk menanggapi pertanyaan dari saudara Rezky Amelda, menurut saya keterkaitan antara AWK denga Wacana Terpinggirka.
      AWK merupakan sebuah upaya atau proses (penguraian) untuk memberi penjelaskan dari sebuah teks yang ingin dikaji oleh seseorang atau kelompok dominan yang kecenderungan mempunyai tujuan tertentu untuk memperoleh apa yang diinginkan. .
      Wacana terpinggirkan adalah wacana yang kurang dipilih dan mendapatkan dukungan dari masyarakat, berbeda dengan wacana dominan yang selalu mendapatkan dukungan dari masyarakat.
      Nah keterkaitan dari keduanya adalah melalui AWK maka dapat diperoleh sebuah putusan dari masyarakat apakah wacana tersebut layak untuk di dukung atau di pilih setelah di analisis. Jika wacana tersebut tidak layak maka wacana tersebut akan terpinggirkan dengan wacana-wacana yang dominan yaitu wacana yang memang layak untuk dipilih atau di dukung,,
      Itu saja pendapat saya jika ada salah khilafnya mohon di luruskan oleh kelompok,,,
      Makasih,,,he

      Hapus
  4. Syifa Aulia
    A1B110041

    Pertama, saya masih bingung mengenai kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Apakah yang dimaksud perspektif foucault ini bahwa pengetahuan seseorang atau seberapa pengetahuan yang ada didalam sebuah wacana dapat menentukan kekuasaan? Apakah benar pemahaman saya ini?
    Kedua, bagaimana caranya jika saya ingin melihat kekuasaan seseorang jika dalam sebuah wacana tertulis menurut persfektif Foucault ini?
    Terimakasih. .

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ya, benar. Pengetahuan seseorang itu mempengaruhi kekuasaan dalam sebuah wacana.
      Cara mengetahui kekuasaan dalam wacana tertulis menurut perspektif Foucault. Kita baca dahulu berita dalam media teks seperti Koran, internet, dll. , misalnya berita tentang Partai Demokrat. Setelah kita mendapatkan pengetahuan dari berita tersebut, apakah ada efeknya terhadap pemikiran kita dan apakah di masyarakat ada pengaruhnya. Dari situlah kita bisa melihat bagaimana kekuasaan dalam wacana.

      Hapus
    2. Nama: Mustikasari
      Nim: A1B110025
      Saya akan mencoba menanggapi pertanyaan dari saudara Syifa,,
      Menurut saya memang benar apa yang dikatakan saudara Syfa…dan saya akan sedikit menambahkan,,,
      “kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa”
      Maksud pernyataan itu menurut saya adalah dari sebuah pengetahuan yang dimiliki mengenai suatu wacana itu pasti akan mempengaruhi seseorang untuk melakukan sesuatu atau mengikuti pola pikir sesuai dengan suatu hal yang diketahuinya, nah pengetahuan yang dimiliki seseorang inilah yang memiliki efek kuasa terhadap prilaku seseorang, baik itu positif maupun negatif.
      Sebagai contoh: seseorang yang memiliki banya pengetahuan mengenai bagaimana belajar yang efektif. Setelah seseorang tersebut mengetahui apa-apa saja yang dilakukan agar belajar dengan baik dia pasti akan menerapkan apa yang diketahuinya. Pengetahuan yang di milikinya tidak secara langsung disadari bahwa pengetahuan itu memilki efek kuasa agar orang tersebut dapat belajar denagn baik.
      Selanjutnya untuk pertanyaan yang kedua,,
      Jika ingin melihat kekuasaan seseorang kita harus mengetahui seberapa besar pengaruh wacana terhadap suatu khalayak, apakah wacana tersebut dapat diterima untuk di dukung dan di pilih sehingga menjadi wacana yang dominan bahkan sebaliknya akan terpinggirkan. Jika sebuah wacana mampu merubah prilaku khalayak maka perubahan itulah yang merupakan bentuk kekuasaan.
      Saya rasa hanya itu yang dapat saya tambahkan , kurang lebihnya nanti bisa diluruskan oleh kelompok,,trimakasih…

      Hapus
  5. Rahmi Nike Rosahin
    A1B110035

    Mengapa wacana dalam proses pemberitaan membawa beberapa implikasi?
    Jika bisa, tolong jelaskan dengan beberapa contoh agar lebih mudah dipahami.

    Maksih...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Proses wacana dalam pemberitaan membawa beberapa implikasi karena dalam suatu masyarakat terdapat berbagai wacana yang berbeda-beda. Ada yang dominan ada yang terpinggirkan. Wacana dominan adalah wacana yang dipilih dan didukung oleh kekuasaan, sedangkan wacana lainnya yang tidak didukung akan terpinggirkan (marginalized) atau terpendam (submerged). Misalnya saja wacana mengenai PKI (Partai Komunis Indonesia) yang dibangun oleh Orde Baru sebagai partai yang memberontak dan anti Tuhan menyingkirkan wacana lainnya yang menunjukkan PKI sebagai partai yang paling radikal dan gigih melawan kolonialisme. Wacana mengenai PKI sebagai pemberontak dan anti Tuhan disebut wacana dominan. Adapun PKI sebagai partai yang paling gigih melawan kolonialisme dapat dikatakan sebagai wacana yang terpinggirkan.

      Contoh lain, Calon presiden Indonesia harus Islam dan Jawa. Adalah wacana dominan sedangkan wacana terpinggirkan bahwa Indonesia itu dibentuk bukan karena agama dan etnis (Sumpah pemuda 1928).

      Hapus
  6. Hermawati
    A1B110012
    mengapa strategi politik komunis dilakukan dengan memprovokasi rakyat bawah untuk melakukan aksi sepihak dengan kaum kapital.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jika dikaitkan dengan sejarah, setahu kami rakyat bawah (bukan kaum intelek) sangat mudah untuk didoktrin. Dengan memprovokasi rakyat, PKI mendapat kepercayaan dari rakyat dan memiliki kesempatan melengserkan pemerintahan yang ada. Mungkin begitu jawaban kami. Untuk lebih jelasnya bisa ditanya dengan prodi sejarah ya! ^_^

      Hapus
    2. Mengapa strategi politik komunis dilakukan dengan memprovokasi rakyat bawah untuk melakukan aksi sepihak dengan kaum kapital. Nah, hal ini karena komunis itu sebenarnya ingin mempengaruhi pemikiran rakyat bawah dengan wacana provokasi agar memberontak pemerintah. Karena hanya dengan mengontrol jalan pemikiran rakyat bawahlah mereka bisa menghancurkan politik pemerintah. Rakyat bawah ini kurang memiliki pengetahuan, oleh sebab itu mereka mudah dipengaruhi.

      Hapus
  7. teman2 memberi pertanyaan dibatasi sampai jam 8 malam ini ya..

    BalasHapus
  8. Lisa Ariani
    A1B110007

    Menurut Michel Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi membentuk melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat

    diatas sudah dijelaskan ciri-ciri wacana menurut foucault, sedangkan menurut kalian ciri wacana itu apa coba jelaskan? makasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. ciri atau karakteristik wacana yaitu 1) tindakan, 2) konteks, 3) histori , 4) kekuasaan, dan 5) ideologi..

      Hapus
  9. A. FAZARUDIN RIZKI (A1B110042)

    Mengenai AWK Perspektif Foucault pada bagian wacana terpinggirkan, mengemukakan bahwa wacana membatasi bidang sebuah pandangan, mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batas-batas yang telah ditentukan.

    jadi pertanyaan saya, mengapa wacana membatasi bidang sebuah pandangan? pandangan seperti apa yang dimaksudkan? batas-batas apa yang dimaksudkan? dan mengapa dikatakan wacana mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batas-batas yang dimaksudkan itu?

    mohon pencerahannya kelompok maupun tanggapan saudara-saudara mengenai hal ini.

    Terima kasih..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mohon maaf, ada kesalahan. Seharusnya mengenai AWK Perspektif Foucault pada bagian produksi wacana. bukan dari wacana terpinggirkan. itu saja yang diperbaiki...

      Terima kasih, (=_=)"

      Hapus
    2. Mengapa Wacana membatasi pandangan, karena pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif. Sedangkan pandangan yang dimaksudkan adalah pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa yang benar dan yang lain tidak. Batas-batas itu adalah pandangan khalayak yang mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan menghayati itu sebagai sesuatu yang benar.
      Wacana membatasi bidang pandangan kita, mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batas-batas yang telah ditentukan karena ketika aturan dari wacana dibentuk, penyataan kemudian disesuaikan dengan garis yang telah ditentukan. Di sini, pernyataan yang diterima dimasukkan dan mengeluarkan pandangan yang tak diterima tentang suatu objek. Objek bisa jadi tidak berubah, tetapi struktur diskursif yang dibuat membuat objek menjadi berubah. Sara Mills memberi contoh bakteri di lautan, apakah didefinisikan sebagai hewan ataukah tumbuhan. Pada masa lalu, makhluk ini dikategorikan dan diklasifikasikan sebagai hewan, tetapi kini ia diklasifikasikan dan dikategorikan sebagai tumbuhan. Tidak ada yang berubah dari makhluk ini, perbedaan justru karena struktur diskursif yang mengarahkan dan membatasi kita melihat bakteri lautan itu sebagai tumbuhan bukan hewan, dan kemudian memperlakukan dan mempelajari dan menempelkan sifat-sifat kepada makhluk itu sebagai tumbuhan.




      Hapus
    3. Nama: Mustikasari
      Nim: A1B110025
      Saya akan mencoba menanggapi pertanyaan dari saudar Fajar.
      Menurut saya alasan mengapa wacana membatasi bidang suatu pandangan itu tujuannya agar khalayak tidak mendapatkan kesempatan untuk mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu peristiwa. Secara otomatis khalayak hanya terpaku denagn wacana tersebut , sehingga khalayak dapat terpancing untuk mendukung atau memililih wacana yang telah dipaparka terbatas tersebut.
      Mengenai batas-batas yang dimaksudkan tersebut tergantung dari si pembuat wacana, misalnya ada persoalan lumpur lapindo. Nah, wacana yang disampaikan hanya terbatas pada penyebab-penyebab utama terjadinya semburan lumpur lapindo bukan masalah nasib korbanya
      Nah masalah mengapa wacana mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batas-batas yang telah ditentukan, karena ketika aturan dari wacana dibentuk, penyataan kemudian disesuaikan dengan garis yang telah ditentukan.
      Saya akan menambahkan contoh lain yang berbeda.
      Misalnya lumba-lumba, lumba-lumba merupakan binatang yang hidup di air, nah kemungkinan besar sebelum ada yang meneliti orang mengira bahwa lumba-lumba sama dengan ikan yang lain yang bertelur. Akan tetapi setelah diadakan penelitian bahwa lumba-lumba merupakan ikan yang dapat digolongkan berjenis mamalia. Nah, di sini dapat di lihat dari objek lumba-lumbanya tidak ada yang berubah sedikitpun, sedangkan yang berubah hanya pada struktur diskursif yang dibuat membuat objek menjadi berubah.

      Hapus