Sabtu, 30 Maret 2013

ANALISIS WACANA KRITIS PERSPEKTIF FOUCAULT

Bagaimana wacana diproduksi, siapa yang memproduksi, dan apa efek dari produksi wacana? Konsep mengenai wacana mutakhir diperkenalkan oleh Michael Foucault. Wacana menurut pandangan Foucault tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi merupakan sesuatu yang memproduksi yang lain ( gagasan, konsep, atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.
Salah satu yang menarik dari konsep Foucault adalah tesisnya mengenai hubungan antara pengetahuan dan kekuasaan. Foucault mendefinisikan  kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli lain.  Kuasa oleh Foucault tidak dimaknai dalam term “kepemilikan”, di mana seseorang mempunyai sumber kekuasaan tertentu. Kuasa, menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan satu sama lain. Kalau banyak teoretisi lebih memusatkan perhatian pada negara, maka Foucault meneliti kekuasaan lebih kepada individu, subjek yang kecil. Menurut Foucault, seperti dikutip Bartens, strategi kuasa berlangsung di mana-mana. Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi, di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan dengan dunia, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar tetapi menentukan susunan, aturan-aturan, dan hubungan-hubungan itu dari dalam. Sebagai contoh dapat disebut hubungan-hubungan sosial ekonomi, hubungan-hubungan yang menyangkut keluarga, seksualitas, media komunikasi, dinas kesehatan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Setiap masyarakat mengenal beberapa strategi kuasa yang menyangkut kebenaran: beberapa diskursus diterima dan diedarkan sebagai benar. Ada instansi-instansi yang menjamin perbedaan antara benar dan  tidak benar. Ada macam-macam aturan dan prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan kebenaran.
Bagi Foucault, kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan, menurut Foucault, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Hampir tidak mungkin kekuasaan tanpa ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran. Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada dalam relasi-relasi kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran di sini, oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit, bukan juga sebuah konsep yang abstrak. Akan tetapi, ia diproduksi, setiap kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khayalak digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Di sini, setiap kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran trtentu yang disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan.
Kuasa tidak bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Foucault menolak pandangan yang menyatakan kekuasaan sebagai subjek yang berkuasa (raja, negara, pemerintah, ayah, laki-laki) dan subjek yang dianggap melarang, membatasi, atau menindas. Menurut Foucault, kuasa tidak bersifat subjektif. Kuasa tidak bekerja dengan cara negatif dan represif, melainkan dengan cara positif dan produktif. Kuasa mereprodusir realitas, mereprodusir lingkup-lingkup objek-objek, dan ritus-ritus kebenaran. Strategi kuasa tidak bekerja melalui penindasan, melainkan melalui normalisasi dan regulasi, menghukum dan membentuk publik yang disiplin. Publik tidak dikontrol lewat kekuasaan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan disiplinkan lewat wacana. Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan sosial, di mana memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagai baik atau buruk, sebagai bentuk pengendalian perilaku. Relasi sosial itulah yang memproduksi bentuk subjektivitas dan perilaku lebihdari secara sederhana digambarkan sebagai bentuk restriksi. Jadi khalayak ditundukkan bukan dengan cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik, tetapi dengan wacana dan mekanisme, berupa prosedur, aturan, tata cara, dan sebagainya. Masalah ini terutama diuraikan oleh Foucault dalam bukunya, discipline and punish. Foucault menganalisis hilangnya bentuk menghukum yang terjadi pada paruh kedua abad ke-18 berbentuk hukuman pancung atau cambuk yang ditontonkan di depan publik digantikan oleh penjara hingga kini. Hal ini tampak dalam pelaksanaan kuasa menghukum tubuh secara kejam sambil mempertontonkan di depan publik, menuju pelaksanaan hukuman yang semakin tidak meyentuh tubuh. Malahan arahnya menjadi teknologi normalisasi dan koreksi terhadap individu yang menjadikan individu patuh dan berguna. Hukuman keji dihapuskan dan diganti dengan hukuman yang tidak sewenang-wenang. Undang-undang yang memuat ketentuan penghukuman ditetapkan. Kepada individu diberikan aturan tertulis mengenai hukuman bagi setiap pelanggaran. Hukuman diterapkan bukan untuk balas dendam, tetapi mencegah pengulangan tindak kejahatan. Pelaksanaan hukuman diarahkan pada kesadaran, hasrat, dan kehendak individu, menjadi penaklukan ide. Gagasan untuk berbuat jahat dkalahkan dengan pikiran beratnya hukuman. Kuasa menghukum dilaksanakan lebih untuk menarik dan menimbulkan kesadaran pada individu. Di dalam strategi baru ini, bukan lagi tubuh fisik yang disentuh kuasa, melainkan jiwa, pikiran, kesadaran, dan kehendak individu yang mampu menangkap tanda-tanda yang tersebar di dalam tubuh masyarakat. Di dalam prosedur pemenjaraan, hukuman dilaksanakan bukan untuk menghapus kejahatan atau penjahat, melainkan untuk mengoreksi, melatih, dan menormalkan individu. Hukuman berfungsi untuk menjadikan individu patuh berguna dan berguna. Mekanisme penghukuman bukan untuk menghukum tetapi juga pendisiplinan, pengawasan, pengontrolan, pencatatan, dan sebagainya. Atau mengutip Dreyfus dan Rabinow, proses penghukuman itu lebih lewat prosedur dan mekanisme untuk mengontrol dan mengendalikan individu, daripada kontrol secara fisik. Dengan mekanisme itu, seseorang dipaksa untuk mengikuti aturan dan mekanisme yang telah diciptakan sehingga publik menjadi terkontrol, patuh dan disiplin.
Menurut Staple, apa yang digambarkan oleh Foucault mengenai disiplin, normalisasi, dan kontrol tersebut merupakan gambaran umum kehidupan modern atau kapitalisme. Dalam kapitalisme, kehidupan pada dasarnya tidak diatur dan dikontrol lewat sebuah kekuasaan yang sifatnya represif dan tunggal, tetapi lewat sebuah mekanisme, aturan, dan tata cara yang mengontrol kehidupan masyarakat agar terkontrol dan disiplin. Apa yang diuraikan oleh Foucault mengenai normalisasi dan disiplin ini menjadi praktik kehidupan modern. Kekuasaan dalam masyarakat modern terutama tidak bekerja secara terang-terangan dengan adanya raja yang memerintah atau adanya otoritas individual yang berkuasa dan mengatur kehidupan seseorang. Kekuasaan justru bekerja secara tidak terlihat, tanpa disadari dengan praktik disiplinisasi. Teknik disiplinisasi ini diantaranya melalui penetapan aturan dan berbagai prosedur kegiatan, jadwal, pelaksanaan, dan tujuan kegiatan yang menghasilkan keteraturan. Kontrol  juga dilakukan dengan memberi ganjaran bagi yang mengikuti dan hukuman bagi yang melanggar, bahkan kontrol mental lewat aturan moral dan agama. Lewat disiplin tersebut, individu modern dikontrol tanpa dia sadari. Semakin dia merasa bebas, sesungguhya semakin ia masuk dalam perangkap kekuasaan yang mengontrol dan mengatur dirinya. Kehidupan di kantor, di jalan, di rumah sakit, sekolah, semuanya menggambarkan keinginan akan control dan disiplin tersebut. Misalnya, kehidupan di sekolah. Di sini tidak ada kekuasaan yang sifatnya represif dan tunggal, guru tidak bisa mengawasi murid-muridnya satu per satu sepanjang hari sebagai polisi moral. Akan tetapi, kehidupan di sekolah itu sendiri dikontrol lewat serangkaian mekanisme: ujian untuk menguji penangkapan murid akan mata pelajaran yang diberikan, mekanisme kenaikan kelas untuk mengukur keberhasilan murid, dan rangking untuk melihat tingkat kepintaran murid. Semua mekanisme itu membentuk jaring kekuasaan yang memaksa seorang murid mengikuti aturan sehingga menjadi terkontrol, patuh, dan disiplin. Kalau  ia ingin naik kelas, ia harus belajar, harus masuk sekian kali, dan sebagainya. Sebuah mekanisme yang sifatnya menyentuh psikis bukan pengawasan dalam arti fisik yang dilakukan oleh guru secara terus-menerus. Di sini, ruang kelas itu sendiri menjadi sebuah jaring kekuasaan yang menyebarkan wacananya terus-menerus. Kepintaran seseorang diukur dari raport yang dia terima enam bulan sekali, kalau buruk dia tidak akan naik kelas, dan kalau tidak naik kelas ia akan dicap bodoh dan seterusnya.
Hal yang sama terjadi di ruang-ruang kerja. Meskipun kekuasaan dan wewenang tertinggi ada pada direktur, bukan berarti ia akan menjadi polisi yang akan mengawasi pekerjanya terus-menerus, 24 jam. Pengawasan dan kontrol tidak berlangsung dalam cara dan sifat semacam itu, tetapi lewat serangkaian mekanisme. Jenjang karir, mekanisme tunjangan, gaji, absensi dan lainnya, yang pada dasarnya adalah mekanisme yang mengontrol secara terus menerus keadaan psikis pekerja. Mekanisme tersebut pada dasarnya juga membentuk individu yang diinginkan. Pekerja yang baik adalah masuk kerja dari sekian sampai jam sekian, produktif, menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, tidak pernah bolos dan sebagainya. Mekanisme, seperti jenjang karir, mengontrol dan mengidentifikasi mana pekerja yang bagus dan berprestasi sehingga perlu diberi penghargaan, dan mana pekerja yang tidak bagus sehingga perlu dihukum (dengan tidak menaikkan pangkat atau gaji). Wacana seperti itu membentuk individu dan mengklasifikasikannya dalam pekerja yang baik dan pekerja yang tidak baik.
Kontrol dan membentuk individu yang patuh dan disiplin adalah wujud kekuasaan yang ada di mana-mana. Bagi Foucault kekuasaan ada di mana-mana (omnipresent), yang selalu dinyatakan lewat hubungan, dan diciptakan dalam hubungan yang menunjangnya. Kekuasaan selalu beroperasi melalui konstruksi pengetahuan. Melalui wacana, hubungan antara kekuasaan di satu sisi dengan pengetahuan di sisi lain terjadi. Foucault mengatakan bahwa hubungan simbol dan yang disimbolkan itu bukan hanya referensial, melainkan juga produktif dan kreatif. Simbol yang dihasilkan wacana itu, antara lain melalui bahasa, moralitas, hukum, dan lainnya, yang tidak hanya mengacu pada sesuatu, melainkan turut menghasilkan perilaku, nilai-nilai, dan ideologi. Kehidupan bukan diatur lewat serangkaian represi, melainkan melalui kekuatanya memberikan definisi dan melakukan regulasi. Berbagai regulasi itu diantaranya yang menentukan kita, memilah, mengklasifikasikan, dan menggolongkan mana yang benar dan mana yang salah, mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindari, mana yang sah dan manan yang tidak. Di sini, kekuasaan dipahami sebagai serangkaian prosedur yang memproduksi, meyebarkan dan memproduksi pernyataan-pernyataan. Misalnya, definisi normal dan abnormal jelas merupakan pendefinisian sosial. Lewat definisi semacam ini, individu dikontrol bahwa yang normal dan baik sepert ini, yang tidak normal sehingga tidak baik seprti itu. Kalau ingin baik dan disebut normal, berperilakulah seperti ini, sebab kalau berperilaku seperti itu tidak normal atau tidak baik. Hal yang sama terjadi pada pendefinisian sosial seperti banci, wadam, homoseksual, yang kesemuanya merupakan kontrol social. Pendefinisian ini senada dengan mekanisme kontrol terhadap orang-orang  yang didefinisikan sebagai gila, nakal, pezinah, sakit, komunis, liberal, kejantanan, kewanitaan, dan sebagainnya. Hubungan kita dengan realitas diatur melalui berbagai wacana, yang menentukan bagaimana sehahrsnya dan sebaiknya kita bertindak, mmbentuk kepercayaan, konsep, dan ide-ide yang kita anut.
Melalui wacana, individu bukan hanya didefinisikan tetapi juga dibentuk, dikontrol, dan didisiplinkan. Misalnya, pembagian kerja dalam rumah tangga. Wacana yang berkembang menyatakan laki-laki yang bekeja diluar rumah yang menghidupi keluarganya sementara wanita berada di dalam rumah mengurusi rumah tangga dan merawat anak-anak. Definisi pembagian kerja wanita dan laki-laki ini membentuk individu bgaimana seharusnya laki-laki yang baik itu dan bagaimana pula menjadi wanita yang baik. Keberhasilan laki-laki kalau ia bisa menghidupi keluarganya, dan akan dianggap gagal kalau ekonomi rumah tangga kacau. Hal yang sebaliknya dikenakan pada wanita. Kalau ada wanita yang bekerja, apalagi malam hari, akan ditanggapi secara buruk menelantarkan anak-anak. Sehingga kalau karena pekerjaanya itu, anak-anak menjadi tidak terurus dan nakal. Maka yang disalahkan adalah wanita karena ia memang yang bertugas mendidik anak-anak. Berbagai simbol wacana sperti moral (laki-laki baik seperti ini, wanita baik seperti itu), aturan hukum (wanita yang bekerja malam hari harus meminta izin dari suami) membentuk jarring bagaimana hubngan kekuasaan itu dikontrol dan didisiplinkan.

A.   Produksi Wacana

Bagaimana terbentuknya bangunan wacana? Studi analisis wacana bukan sekedar mengenai pernyataan, tetapi juga struktur dan tata aturan dari wacana. Sebelum membahas mengenai struktur diskursif, perlu diketahui bagaimana keterkaitan antara wacana dengan kenyataan. Realitas dipahami di sini sebagai seperangkat konstruk yang dibentuk melalui wacana. Realitas itu sendiri menurut Foucault, tidak bisa didefinisikan jika kita tidak mempunyai akses dengan pembentukan struktur diskursif tersebut. Kita mempersepsi dan bagaimana  kita menafsirkan objek dan peristiwa dalam sistem makna tergantung pada struktur diskursif.  Struktur diskursif ini, oleh Foucault, membuat objek atau peristiwa terlihat nyata oleh kita. Struktur wacana dari realitas itu, tidaklah dilihat sebagai system yang abstrak dan tertutup.
Menurut Foucault, pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif tersebut: wacana dicirikan oleh batasan bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang benar. Persepsi kita tentang suatu objek dibentuk dengan dibatasi oleh praktik diskursif: dibatasi oleh pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa yang benar dan yang lain tidak. Ini seperti kalau kita mendengar kata film india, maka yang terbayang adalah film dengan nyanyian sambil menari, dengan tokoh utama yang mengalahkan musuh birokrat atau pejabat pemerintah dan kepolisian yang korup. Wacana tertentu membatasi pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan pikiran tertentu dan menghayati itu sebagai sesuatu yang benar. Atau dalam bahasa Macdonell, wacana itu merupakan suatu arena di mana khalayak berpikir dengan jalan tertentu, bukan yang lain.
Wacana membatasi bidang pandangan kita, mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batas-batas yang telah ditentukan. Ketika aturan dari wacana dibentuk, penyataan kemudian disesuaikan dengan garis yang telah ditentukan. Di sini, pernyataan yang diterima dimasukkan dan mengeluarkan pandangan yang tak diterima tentang suatu objek.  Objek bisa jadi tidak berubah, tetapi struktur diskursif yang dibuat membuat objek menjadi berubah. Sara Mills memberi contoh bakteri di lautan, apakah didefinisikan sebagai hewan ataukah tumbuhan. Pada masa lalu, makhluk ini dikategorikan dan diklasifikasikan sebagai hewan, tetapi kini ia diklasifikasikan dan dikategorikan sebagai tumbuhan. Tidak ada yang berubah dari makhluk ini, perbedaan justru karena struktur diskursif yang mengarahkan dan membatasi kita melihat bakteri lautan itu sebagai tumbuhan bukan hewan, dan kemudian memperlakukan dan mempelajari dan menempelkan sifat-sifat kepada makhluk itu sebagai tumbuhan. Contoh yang paling dramatis barangkali adalah bagaimana struktur diskursif yang dibangun tentang PKI sebagai partai terlarang. Pada masa orde lama partai ini adalah partai resmi bahkan masuk dalam lima besar partai yang memperoleh suara terbanyak. Di masa orde baru, PKI justru menjadi partai terlarang dengan berbagai keburukannya. Tidak ada yang berubah dari PKI ini (sebagai objek), tetapi yang membuat ia terlarang adalah struktur diskursif yang secara sengaja dibangun orde baru bahwa PKI ini partai yang suka memberontak dan anti-tuhan. Wacana semacam ini membatasi lapangan pandangan sehingga ketika PKI dibicarakan yang muncul adalah kategori PKI sebagai partai pemberontak dan anti-Tuhan, bukan yang lain.
Wacana membentuk dan mengkonstruksikan peristiwa tertentu  dan gabungan dari peristiwa-peristiwa tersebut dalam narasi yang dapat dikenali oleh kebudayaan tertentu. Dalam prosesnya, kita mengkategorisasikan dan menafsirkan pengalaman dan peristiwa mengikuti struktur yang tersedia dan dalam menafsirkan tersebut kita sukar keluar dari struktur diskursif  yang terbentuk. Struktur diskursif  tersebut adalah bangunan besar, dan secara sistematis batas-batas itu berbentuk sebuah episteme, perangkat dari struktur diskursif sebagai suatu keseluruhan melalui mana kebudayaan berpikir. Melalui episteme itu, kita mengerti dan memahami suatu objek dengan pernyataan dan pandangan tertentu, dan tidak yang lain. Unit-unit diskursif ini mengasumsikan koherensi dan kohesivitas sebagai suatu ide.  Sehingga kita bisa mengatakan sebagai “pandangan orde baru” atau “pandangan orde lama”, dan sebagainya.
Misalnya, struktur diskursif  yang dibentuk oleh orde baru. Salah satu yang kuat adalah normalisasi. Dalam praktik diskursif yang dibangun orde baru, agar pembangunan dapat berjalan maka keadaan harus normal, stabil, yang memungkinkan terjadinya pembangunan. Salah satu aspek yang harus ditata adalah partai politik, karena partai politik adalah sumber konflik. Partai politik dalam sejarahnya selalu egois, lebih mementingkan kepentingan partainya, sehingga pemerintahan tidak dapa berjalan karena selalu ganti pemerintahan. Agar tidak terjadi demikian, sumber konflik itu dibuat normal, ditata kembali sehingga partai politik tidak menjadi penghalang kelangsungan pembangunan. Partai politik harus disederhanakan, dan dibatasi geraknya. Struktur diskursif inilah yang dibangun oleh orde baru dan disebarkan lewat pernyataan pidato dari pejabat pusat sampai daerah, lewat buku-buku ajar sekolah, dan sebagainya. Bagaimana struktur diskursif ini bekerja dapat dilihat dari bgaimana  cara berpikir kita didikte agar berpikir dan berpandangan dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh struktur diskursif, bukan dengan yang lain. Kalau pemerintah menghendaki seseorang menjadi pemimpin partai tertentu, tindakan tersebut tidak dilihat sebagai intervensi dan otoriterianisme tetapi upaya menata kehidupan politik.

B.    Wacana terpinggirkan

            Menurut Michel Foucault, ciri utama wacana ialah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi membentuk melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat.  Dalam banyak kajiannya mengenai penjara, seksualitas, dan kegilaan, Foucault menunjukkan bahwa konsep seperti gila, tidak gila, sehat, sakit, benar, dan salah, bukanlah konsep abstrak yang datang dari langit tetapi dibentuk dan lestrikan oleh wacana-wacana yang berkaitan dengan bidang-bidang psikiatri, ilmu kedokteran, serta ilmu pengetahuan pada umumnya. Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai macama wacana yang berbeda satu sama lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana-wacana lainnya akan “terpinggirkan” (marginalized) atau “terpendam” (submerged).
            Ada dua konsekuensi dari wacana dominan tersebut. Pertama, wacana dominan memberikan arahan bagaimana suatu objek harus dibaca dan dipahami. Pandangan yang lebih luas menjadi terhalang, karena ia memeberikan pilihan yang tersedia dan siap pakai. Pandangan dibatasi  hanya dalam batas-batas struktur diskursif tersebut, tidak dengan yang lain. Kedua, struktur diskursif yang tercipta atas suatu objek tidaklah berarti kebenaran. Batas-batas yang tercipta tersebut bukan hanya membatasi pandangan kita, tetapi juga menyebabkan wacana lain yang tidak dominan menjadi terpinggirkan. Setiap kekuasaan pada dasarnya berusaha membentuk pengetahuannya sendiri,  menciptakan rezim  kebenaran sendiri. Kekuasaan selalu datang dengan memproduksi suatu ekonomi politik kebenaran, melalui mana kekuasaan dengan begitu dimapankan, disusun, dan diwujudkan serta dilestarikan. Oleh karena itu, dalam analisis wacana kita perlu melihat bagaimana produksi wacana atas suatu hal diproduksi dan bagaimana repreduksi itu dibuat oleh kelompok atau elemen dalam masyarakat. Misalnya  kita akan mengadakan analisis mengenai bagaimana wacana komunisme ditampilkan dalam pemberitaan media. Pertama kali harus kita lakukan adalah melihat bagaimana produksi kebenaran mengenai peristiwa komunisme itu dari berbagai kelompok. Yang dilihat dalam analisis wacana bukanlah apa yang sebenarnya terjadi, tetapi bagaimana setiap kelompok, terutama yang terutama yang berkuasa, memproduksi kebenaran atas suatu wacana. Produksi kebenaran wacana itu terutama akan disebarkan dengan berbagai organ yang dia punyai.
            Komunisme adalah suatu wacana paling penting dalam kekuasaan orde baru. Orde baru membangun wacana tentang komunisme  yang menentukan bagaimana komunisme itu harus dipandang  dipahami. Suatu proyek yang melibatkan hamper semua institusi dan disebarkan keseluruh organnya. Lewat sekolah-sekolah dan institusi pendidikan disebarkan pengajaran sejarah yang menggambarkan bagaimana kekuatan komunis itu buruk sekali. Lewat birokrasi dengan membedakan perlakuan yang berbeda kepada yang dituduh punya kaitan atau orang tuanya komunis. Lewat institusi militer, dilakukan dengan melarang orang yang punya indikasi komunis masuk militer. Lewat pemerintah, dengan penerapan litsus. Dan lewat institusi kemasyarakatan dengan pemberian kode tertentu kepada mereka yang diindikasikan punya hubungan dengan komunis dan punya potensi mempunyai ideologi komunis. Dengan penyebaran serentak semacam itu khalayak didikte untuk memandang komunisme sabagi sesuatu yang berbahaya sekaligus sebagai kekuatan yang harus diwaspadai karena setiap saat bisa bangkit.
            Dan inilah pengetahuan yang disebarkan oleh orde baru. Ciri-ciri komunis itu anti-Tuhan, bahkan menganggap orang beragama sebagai musuh. Dalam berpolitik, komunis menghalalkan  segala cara termasuk melakukan teror  terhadap lawan-lawan politik, bahkan kalau perlu dengan pembantaian.
            Strategi politiknya dilakukan dengan memprovokasi rakyat bawah, petani tak bertanah, atau buruh pabrik untuk melakukan aksi sepihak dengan kaum kapital. Dalam berpolitik, komunisme, oportunis, sering kali menusuk dari belakang, memberontak dan sebagainya. Pengetahuan inilah yang ditanamkan ke benak khalayak dikontrol, diatur, didisiplinkan bukan dengan jalan fisik, tetapi lebih kepemikiran, ide sehingga selalu waspada dengan kekuatan komunis. Selain wacana resmi yang diproduksi oleh Negara puluhan tahun tersebut ada wacana lain terutama yang dikembangkan oleh aktivitis mahasiswa, intelektual, dan LSM. Wacana itu diantaranya mengungkapkomunisme hanya dijadikan alat oleh kepentingan militer dan orde baru untuk memperkokoh dan  memperkuat posisi politiknya.
            Sekarang kita lihat bagaimana berita mengenai komunisme ini dalam pemberitaan media (republika, 29 Maret 2000). Berita ini adalah salah satu dari sekian banyak berita mengenai komunisme yang dipicu oleh usulan Gus Dur untuk mencabut Tap MPRS mengenai komunisme. Dari berita tersebut terlihat bagaimana media lebih mereproduksi wcana yang dikembang oleh orde baru. Dalam teks berita tersebut, PKI digambarkan pernah melakukan kudeta/ pemberontakan kepada pemerinta yang sah. Peristiwa yang diacu adalah G30S/PKI dan peristiwa pemberontakan PKI Muso 1948. Dalam berpolitik PKI melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya: meneror, main klaim tanah, menyerobot tanah, dan sebagainya. Cara-cara yang dipandang dapat memprovokasi keresahan dan keguncangan sosial. PKI juga tidak segan-segan melakukan pembantaian terhadap lawan-lawan politiknya dan pihak yang dianggap menghambat tujuan politiknya. Dengan membeberkan sejarah yang buruk, hendak ditekankan di sini bahwa PKI tidak bbisa dipercaya dan selalu menimbulkan kesengsaraan masyarakat. Pengalaman sejarah semacam inilah yang harus menjadi pelajaran dan hikmah agar tidak main-main dengan memperbolehkan hadirnya PKI kembali.
            Teks berita tersebut juga mengembangkan wacana kemungkinan kalau komunisme bangkit kembali di Indonesia. Dalam wacana ini, mencabut tap MPRS berarti memberi kemungkinan  PKI hidup kembali. Dengan pencabutan tap itu PKI dapat menjadi partai politik yang sah dan dapat menjalankan kegiatannya seperti dahulu. Kondisi sosial ekonomi dan politik Indonesia saat ini lahan subur bagi bangkitnya komunisme. Pada saat ketika ekonomi masyarakat Indonesia melorot jauh, ketika kesenjangan anatara penduduk miskin dan kaya sangat tajam, ide-ide komunis yang memperjuangkan kepentingan masyarakat bawah akan banyak menarik perhatian masyarakat. Selain itu, ketidakstabilan politik yang ditandai  dengan perebutan suara dan persaingan antarpartai politik dipandanng sebagai situasi yang disukai oleh komunis.  Retorika yang  banyak dimunculkan adalah adanya paralelisme antara keadaan sosial ekonomi dan politik pada masa 1960-an ditekankan bahwa komunisme sangat mudah hidup ketika masyarakatnya berada dalam kemiskinan, dan akan sukar kalau masyarkatnya makmur. Oleh karena itu, ide pencabutan Tap  MPRS belum saatnya karena hanya akan dimanfaatkan oleh kekuatan PKI.
Proses terpinggirkannya wacana  dalam proses pmberitaan ini membawa beberapa implikasi. Pertama khalayak tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu peristiwa. Di sini tidak harus dikatakan bahwa wacana yang terpinggirkan adalah wacana yang benar mengenai suatu peristiwa, tetapi karena tidak banyak ragam perspektif dari suatu wacana maka dimensi peristiwa tidak lengkap. Kedua, bisa jadi peminggiran wacana menunjukkan praktik ideologi. Sering kali seseorang, suatu kelompok tertentu, suatu gagasan, tindakan, kegiatan terpinggirkan dan menjadi marjinal lewat penciptaan wacana-wacana tertentu. Rasialisme muncul lewat wacana yang berkembang yang menganggap orang kulit hitam sebagai warga kelas dua, identik dengan  kemalasan, kriminalitas, dan obat bius. Wanita juga termajinalkan lewat terbentuknya wacana dominan bahwa mereka lemah, di bawah laki-laki, keibuan, berada di sektor privat, dan sebagainya.

SIMPULAN
Wacana menurut pandangan Foucault tidaklah dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi merupakan sesuatu yang memproduksi yang lain ( gagasan, konsep, atau efek). Wacana dapat dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak tertentu.
Bagi Foucault, kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan, menurut Foucault, selalu memproduksi pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa.
Struktur diskursif ini, oleh Foucault, membuat objek atau peristiwa terlihat nyata oleh kita. Struktur wacana dari realitas itu, tidaklah dilihat sebagai sistem yang abstrak dan tertutup.  Wacana membatasi bidang pandangan kita, mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batas-batas yang telah ditentukan. Ketika aturan dari wacana dibentuk, penyataan kemudian disesuaikan dengan garis yang telah ditentukan. Di sini, pernyataan yang diterima dimasukkan dan mengeluarkan pandangan yang tak diterima tentang suatu objek.  Objek bisa jadi tidak berubah, tetapi struktur diskursif yang dibuat membuat objek menjadi berubah.
Proses terpinggirkannya wacana  dalam proses pmberitaan membawa beberapa implikasi. Pertama, khalayak tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu peristiwa. Di sini tidak harus dikatakan bahwa wacana yang terpinggirkan adalah wacana yang benar mengenai suatu peristiwa, tetapi karena tidak banyak ragam perspektif dari suatu wacana maka dimensi peristiwa tidak lengkap. Kedua, bisa jadi peminggiran wacana menunjukkan praktik ideologi. Sering kali seseorang, suatu kelompok tertentu, suatu gagasan, tindakan, kegiatan terpinggirkan dan menjadi marjinal lewat penciptaan wacana-wacana tertentu.

Sumber:
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi Aksara.

Rabu, 20 Maret 2013

TUGAS WACANA ANALISIS KONTEKS WACANA "INFERENSI"




1)      Transkripsi Percakapan Sketsa

Ibu guru: Bang Obi… Ini kenapa gak jalan-jalan  sih bang?
Sopir: Ini bannya kempes, Bu. Saya juga gak tau kenapa? Kayaknya kurang angin deh.
Ibu guru: Terus gimana, Bang? Ini anak-anak pada mau wisata lo! Udah siang!
Sopir: Iya ya, saya tau. Bentar ya, Bu. Saya benerin dulu.
Ibu guru: Mau kemana bang? Mau ambil apa bang?
Sopir: Hah?
Ibu guru: Ambil apa?
Sopir: Ambil?
Ibu guru: Ambil ban serep ya?
Sopir: Nggak ngambil ban serep. Saya mau manggil dia nih!
Ibu guru: Wah?
Tukang Tambal Ban: Kenapa lagi, aeii.
Sopir: Tuh! Bannya kempes!
Tukang tambal ban: Aaaaaa...
Sopir: Gak tau kenapa?
Ibu guru: Dibawa kemana-mana nih, Bang?
Sopir: Iya biar cepet. Katanya mau cepet tadi.
Ibu guru: Aduh, Bang! Kalau kaya gini, kasihan entar dia di bawah aja.
Sopir: Gimana sih? Dongkrak dulu!
Tukang tambal ban: Ya...ya...ya...
Sopir: Bu! Bantu ambil dongkrak, Bu! Jangan diam aja, ngomel-ngomel!
Ibu guru: Saya  guru, Bang Obi. Mana saya bisa bantuin.
Tukang tambal ban: Ini bukan dongkrak eeeii!

2)      Analisis Inferensi
Inferensi dalam percakapan tersebut adalah sebagai berikut.

Ibu guru: Bang Obi… Ini kenapa gak jalan-jalan sih, Bang?
Sopir: Ini bannya kempes, Bu. Saya juga gak tau kenapa? Kayaknya kurang angin deh.
Ibu guru: Terus gimana, Bang? Ini anak-anak pada mau wisata lo. Udah siang.
Sopir: Iya ya, saya tau. Bentar ya, Bu. Saya benerin dulu.
Inferensi pada penggalan percakapan di atas adalah Ban bus tidak jalan karena bannya kempes dan Sopir mau memperbaikinya.

Ibu guru: Mau kemana, Bang? Mau ambil apa, Bang?
Sopir: Hah?
Ibu guru: Ambil apa?
Sopir: Ambil?
Ibu guru: Ambil ban serep ya?
Sopir: Nggak ngambil ban serep. Saya mau manggil dia nih!
Ibu guru: Wah?!
Inferensi pada penggalan percakapan di atas adalah Si Sopir ingin memanggil tukang tambal ban.

Tukang Tambal Ban: Kenapa lagi, aeii.
Sopir: Tuh! Bannya kempes!
Tukang tambal ban: Aaaaaa...
Sopir: Gak tau kenapa?
Inferensi pada penggalan percakapan di atas adalah Si Sopir ingin bannya diperbaiki.

Ibu guru: Dibawa kemana-mana nih, Bang?
Sopir: Iya, biar cepet. Katanya mau cepet tadi.
Ibu guru: Aduh, Bang! Kalau kaya gini kasihan entar dia di bawah aja.
Inferensi pada penggalan percakapan di atas adalah ibu guru kasihan dengan tukang tambal ban.

Sopir: Gimana sih?! Dongkrak dulu!
Tukang tambal ban: Ya...ya...ya...
Sopir: Bu! Bantu ambil dongkrak, Bu! Jangan diam aja, ngomel-ngomel!
Ibu guru: Saya guru, Bang Obi. Mana saya bisa bantuin.
Tukang tambal ban: Ini bukan dongkrak, eeeii!
Inferensi pada penggalan percakapan di atas adalah tukang tambalnya ingin minta tolong ambilkan dongkrak karena ia salah ambil.

Rabu, 13 Maret 2013

TUGAS ANALISIS KOHESI DAN KOHERENSI PADA BERITA YAHOO



Ini Penyebab Harga Bawang Merah Melonjak

TEMPO.CO, Cirebon – (1) Tingginya harga bawang merah ternyata karena stok yang minim. (2) Petani pun masih enggan menanam di musim penghujan. (3) "Saat ini petani banyak yang lebih memilih untuk menanam padi terlebih dahulu," kata Kepala Dinas Pertanian Peternakan Perkebunan dan Kehutanan Kabupaten Indramayu, Ali Efendi, Senin 11 Maret 2013.
(4) Bahkan petani-petani bawang merah skala besar pun lebih banyak yang memilih untuk menanam padi di musim penghujan ini. (5) Mereka baru akan menanam bawang merah sekitar Mei-Juni 2013. (6) "Penyebabnya karena saat ini masih musim penghujan," katanya.
(7) Di musim penghujan, produktivitas tanaman bawang merah sangat rendah. (8) Karena hama tanaman bawang merah bisa tinggi. (9) "Jadi banyak petani yang akhirnya memilih menanam padi terlebih dahulu," kata Ali. (10) Harganya pun melonjak tinggi.
(11) Dengan kondisi seperti ini, Ali pun mengkhawatirkan minimnya bibit tanaman bawang merah di musim tanam mendatang. (12) "Karena yang seharusnya jadi bibit pun sekarang akan dijual karena harganya yang tinggi," kata Ali.
(13) Pantauan Tempo di Pasar Pagi Kota Cirebon, harga bawang merah saat ini sudah mencapai Rp 45 ribu per kg. (14) "Kalau yang ukuran kecil harganya Rp 40 ribu per kg," kata Ida, seorang pedagang di pasar tersebut.
(15) Ida pun mengaku saat ini stok bawang merah semakin sedikit. (16) "Sulit sekali dapatnya, harus pesan dulu ke pemasok," katanya. (17) Bahkan Ida pun mendapat informasi jika bawang merah di Pasar Jagasatru (pasar induk) pun sudah menipis.



Kohesi dan koherensi pada artikel  “Ini Penyebab Harga Bawang Merah Melonjak”

1.     Pada kalimat (1) dan (2) berhubungan kohesi karena terdapat piranti  kohesi alahan pun. Pada kalimat (2) dan (3) ada piranti kohesi pengulangan (repetisi) yaitu pada kata petani dan piranti kohesi referensi anafora  menggunakan Pronomina demonstrasi terdapat pada Saat ini  mengacu pada musim penghujan. Antarkalimat dalam paragraf  ini ada kepaduan makna (koherensi), yaitu “Harga bawang yang tinggi itu disebabkan stok yang minim karena petani enggan menanam di musim hujan dan memilih menanam padi terlebih dahulu”.
2.    Pada kalimat (3) dan (4) terdapat piranti kohesi tegasan yaitu pada kata bahkan. Jadi, antarparagraf pertama dan kedua saling berkaitan karena masih membahas tentang petani yang lebih memilih menanam padi. Pada kalimat (4) dan (5) terdapat piranti kohesi referensi anafora menggunakan Pronomina Persona yaitu kata Mereka mengacu pada petani-petani . Pada kalimat (5) dan (6) terdapat piranti kohesi sebab akibat yaitu pada kata penyebabnya karena. Antarkalimat dalam paragraf ini koherensi karena adanya kepaduan makna, yaitu “Pada musim penghujan para petani memilih menanam padi, dan akan menanam bawang kembali sekitar Mei-Juni 2013.”
3.    Pada kalimat (6) dan (7) terdapat piranti kohesi pengulangan penuh yaitu musim penghujan. Jadi, antarparagraf kedua dan ketiga ini saling berkaitan karena masih membahas tentang musim penghujan. Pada kalimat (7) dan (8) terdapat piranti sebab akibat karena. Pada kalimat (8) dan (9) terdapat piranti ringkasan dan simpulan karena ada kata jadi. Pada kalimat (9) dan (10) terdapat piranti alahan pun. Antarkalimat dalam paragraf ini koherensi karena adanya kepaduan makna, yaitu “harga bawang melonjak disebabkan pada musim penghujan produktivitas  bawang merah sangat rendah karena hamanya sangat tinggi, sehingga petani menanam padi terlebih dahulu.”
4.    Pada kalimat (10) dan (11) terdapat piranti kohesi Dengan kondisi seperti ini. Sehingga antarparagraf ketiga dan keempat berkaitan. Pada kalimat (11) dan (12) terdapat piranti kohesi sebab akibat karena dan pengulangan Ali. Antarkalimat dalam paragraf ini koherensi karena memiliki makna yang padu “Ali khawatir minimnya bibit tanaman bawang merah di musim tanam mendatang karena yang seharusnya jadi bibit pun juga  dijual karena harganya yang tinggi”
5.    Pada kalimat (12) dan (13) terdapat piranti kohesi referensi katafora harganya mengacu pada harga bawang. Jadi, antarparagraf keempat dan kelima saling berkaitan karena masih membahas harga bawang yang tinggi. Sedangkan (13) dan (14) terdapat piranti kohesi referensi anafora. Antarkalimat dalam paragaraf ini sudah koherensi yang memiliki kepaduan makna, yaitu “Saat ini bawang merah mencapai harga Rp 45 ribu perkilo sedangkan ukuran yang kecil Rp 40 ribu.”
6.    Pada kalimat (14) dan (15)  terdapat piranti kohesi pengulangan yaitu Ida. Jadi, antarparagraf kelima dan keenam saling berkaitan karena masih membahas pengakuan Ida. Pada kalimat (15) dan (16) terdapat piranti kohesi referensi anafora katanya mengacu pada kata Ida.  Pada kalimat (16) dan (17) terdapat piranti kohesi tegasan yaitu bahkan. Antarkalimat dalam paragraf memiliki koherensi karena adanya kepaduan makna, yaitu “Stok bawang merah sulit didapat karena semakin sedikit dan harus memesan ke pemasok. Bahkan di Pasar Jagasatru juga sudah menipis.”
7.    Jadi, secara keseluruhan wacana ini sudah baik karena adanya kohesi dan koherensi yang saling berhubungan dan berkaitan baik antarkalimat maupun antarparagraf.

Selasa, 05 Maret 2013

TUGAS ANALISIS IKLAN


1.      Transkripsi Percakapan Iklan Citra Night Whitening Lotion

A: “Waktunya tidur..”
B: “Sikat gigi? “
C: “sudah..”
B: “Pasang weker?”
C: “Sudah..”
A: “Citra night whitening lotion?”
B: “Sudah..”
C: “Emmm..”
B: “Citra night whitening lotion pakai sebelum tidur, untuk membantu regenerasi kulit.”

“Baru Citra night whitening, night whitening lotion pertama dari citra, dengan paduan sempurna dari minyak biji anggur dan ekstrak bulberry dari rahasia kecantikan asia untuk membantu regenerasi kulit ketika kamu tidur.”

A: “Waw.. Kulit cantik,  terasa lembut?”
C: “Sudah..”

Citra night whitening baru

Ditengah iklan ada tulisan:  night whitening lotion pertama dari citra
Penutup iklan:
Ada tulisan: Baru
Gambar produk
Dan ada tulisan merk dagang “unilever”





2.      Analisis Percakapan Iklan

A: “Waktunya tidur..”
B: “Sikat gigi?” (inisiasi)
C: “sudah..” (respon)
B: “Pasang weker?” (inisiasi)
C: “Sudah..” (respon)
A: “Citra night whitening lotion?” (inisiasi)
B: “Sudah..” (respon)
C: “Emmm..” (respon)
B: “Citra night whitening lotion pakai sebelum tidur, untuk membantu regenerasi kulit.” (feed back)

“Baru Citra night whitening, night whitening lotion pertama dari citra, dengan paduan sempurna dari minyak biji anggur dan ekstrak bulberry dari rahasia kecantikan asia untuk membantu regenerasi kulit ketika kamu tidur.”

A: “Waw.. Kulit cantik,  terasa lembut?” (inisiasi)
C: “Sudah..” (respon)

Citra night whitening baru



3.      Analisis Struktur Iklan
a.      Butir utama
Butir utama iklan ini berbentuk pertanyaan, hal ini dibuktikan pada percakapan:

A: “Waktunya tidur..”
B: “Sikat gigi?”
C: “sudah..”
B: “Pasang weker?”
C: “Sudah..”
A: “Citra night whitening lotion?”
B: “Sudah..”
C: “Emmm..”
B: “Citra night whitening lotion pakai sebelum tidur, untuk membantu regenerasi kulit.”

b.      Badan Iklan
Badan iklan ini bersifat subjektif, hal ini dibuktikan pada:

Ditengah iklan ada tulisan:  night whitening lotion pertama dari citra

“Baru Citra night whitening, night whitening lotion pertama dari citra, dengan paduan sempurna dari minyak biji anggur dan ekstrak bulberry dari rahasia kecantikan asia untuk membantu regenerasi kulit ketika kamu tidur.”

c.       Penutup
Penutup iklan menggunakan teknik lunak. Hal ini dibuktikan pada:

A: “Waw.. Kulit cantik,  terasa lembut?”
C: “Sudah..”

            Selain itu terdapat juga gambar produk dan tulisan:
a.       Citra night whitening baru
b.      Baru
c.       merk dagang “unilever”



Transkripsi Iklan Mie Sedap Ayam Spesial

Andi sayang banget sama ayam-ayamnya.
Pok! Pok! Pok! Pok!
Andi: “Nek aku sekolah ya?”
Sore itu..
Andi: “Nenek ayam-ayam ku mana?”
Nenek: “Sudah  makan dulu sana, ada mie ayam spesial tuh!”
Andi: “Enak.. Ayamnya asli.”
Andi: “Ayamkuuuuuuuuuuuuuuu!!! Ayamkuuuuuuuuuuuuu!!!”
Nenek: “Bukan di..  ini Mie sedap baru dari kaldu ayam asli… rasanya (pok! Pok! Pok!)”
Andi: “Jadi ayamku??”
Pak guru: “Mie sedap ayam spesial, asli ayamnya.”

Ada gambar: bungkusan mie, merk dagang WINGS FOOD, dan label halal MUI
Dan ada tulisan:
·         SOAL RASA LIDAH GAK BISA BOHONG
·         Puas sedapnya
·         Mie instan peraih ISO 22000

1)      Analisis Percakapan dalam Iklan
Andi sayang banget sama ayam-ayamnya.
Pok! Pok! Pok! Pok!
Andi: “Nek aku sekolah ya?” (inisiasi)
Sore itu..
Andi: “Nenek ayam-ayam ku mana?” (inisiasi)
Nenek: “Sudah  makan dulu sana, ada mie ayam spesial tuh!” (respon)
Andi: “Enak.. Ayamnya asli.” (feed back)
Andi: “Ayamkuuuuuuuuuuuuuuu!!! Ayamkuuuuuuuuuuuuu!!!” (inisiasi)
Nenek: “Bukan di.. ini Mie sedap baru dari kaldu ayam asli… rasanya (pok! Pok! pok!)” (respon)
Andi: “Jadi ayamku??” (inisiasi)
Pak guru: “Mie sedap ayam spesial, asli ayamnya.”
2)      Analisis Struktur Iklan
a.      Butir Utama
Butir utama berupa pertanyaan-pertanyaan. Hal ini dibuktikan pada percakapan di bawah ini:
Andi sayang banget sama ayam-ayamnya.
Pok! Pok! Pok! Pok!
Andi: “Nek aku sekolah ya?”
Sore itu..
Andi: “Nenek ayam-ayam ku mana?”
Nenek: “Sudah makan dulu sana, ada mie ayam spesial tuh!”

b.      Badan Iklan
Badan iklan ini bersifat subjektif, hal ini dibuktikan pada percakapan yang mengatakan bahwa mie ini enak dari kaldu ayam asli.

Andi: “Ayamkuuuuuuuuuuuuuuu!!! Ayamkuuuuuuuuuuuuu!!!”
Nenek: “Bukan di..  ini Mie sedap baru dari kaldu ayam asli… rasanya (pok! Pok! Pok!)”
Andi: “Jadi ayamku??”

Hal ini juga dibuktikan pada tulisan:
RASANYAA… POK! POK! POK! POK!
Kata yang dicetak tebal merupakan penegasan bahwa alasan yang dikemukakan pada bagian badan iklan tersebut bersifat subjektif.

c.       Penutup
Penutup iklan ini menggunakan teknik lunak, hal ini dibuktikan pada:
Pak guru: “Mie sedap ayam spesial, asli ayamnya.”

Ada gambar produk, merk dagang WINGS FOOD, dan label halal MUI
Dan ada tulisan:
·         SOAL RASA LIDAH GAK BISA BOHONG
·         Puas sedapnya
·         Mie instan peraih ISO 22000