Bagaimana wacana diproduksi, siapa yang
memproduksi, dan apa efek dari produksi wacana? Konsep mengenai wacana mutakhir
diperkenalkan oleh Michael Foucault. Wacana menurut pandangan Foucault tidaklah
dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi merupakan
sesuatu yang memproduksi yang lain ( gagasan, konsep, atau efek). Wacana dapat
dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan
hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir
dan bertindak tertentu.
Salah satu yang
menarik dari konsep Foucault adalah tesisnya mengenai hubungan antara
pengetahuan dan kekuasaan. Foucault mendefinisikan kuasa agak berbeda dengan beberapa ahli
lain. Kuasa oleh Foucault tidak dimaknai
dalam term “kepemilikan”, di mana seseorang mempunyai sumber kekuasaan
tertentu. Kuasa, menurut Foucault tidak dimiliki tetapi dipraktikkan dalam
suatu ruang lingkup di mana ada banyak posisi yang secara strategis berkaitan
satu sama lain. Kalau banyak teoretisi lebih memusatkan perhatian pada negara,
maka Foucault meneliti kekuasaan lebih kepada individu, subjek yang kecil.
Menurut Foucault, seperti dikutip Bartens, strategi kuasa berlangsung di
mana-mana. Di mana saja terdapat susunan, aturan-aturan, sistem-sistem regulasi,
di mana saja ada manusia yang mempunyai hubungan tertentu satu sama lain dan
dengan dunia, di situ kuasa sedang bekerja. Kuasa tidak datang dari luar tetapi
menentukan susunan, aturan-aturan, dan hubungan-hubungan itu dari dalam.
Sebagai contoh dapat disebut hubungan-hubungan sosial ekonomi,
hubungan-hubungan yang menyangkut keluarga, seksualitas, media komunikasi,
dinas kesehatan, pendidikan, dan ilmu pengetahuan. Setiap masyarakat mengenal
beberapa strategi kuasa yang menyangkut kebenaran: beberapa diskursus diterima
dan diedarkan sebagai benar. Ada instansi-instansi yang menjamin perbedaan
antara benar dan tidak benar. Ada
macam-macam aturan dan prosedur untuk memperoleh dan menyebarkan kebenaran.
Bagi Foucault,
kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya
efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan, menurut Foucault, selalu memproduksi
pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Hampir tidak mungkin kekuasaan tanpa
ditopang oleh suatu ekonomi politik kebenaran. Pengetahuan tidak merupakan pengungkapan
samar-samar dari relasi kuasa tetapi pengetahuan berada dalam relasi-relasi
kuasa itu sendiri. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan saja karena
pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa, dan sebaliknya
tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa konsekuensi,
untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi pengetahuan
yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun, dimapankan, dan
diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana tertentu menghasilkan
kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek kuasa. Kebenaran di
sini, oleh Foucault tidak dipahami sebagai sesuatu yang datang dari langit,
bukan juga sebuah konsep yang abstrak. Akan tetapi, ia diproduksi, setiap
kekuasaan menghasilkan dan memproduksi kebenaran sendiri melalui mana khayalak
digiring untuk mengikuti kebenaran yang telah ditetapkan tersebut. Di sini,
setiap kekuasaan selalu berpretensi menghasilkan rezim kebenaran trtentu yang
disebarkan lewat wacana yang dibentuk oleh kekuasaan.
Kuasa tidak
bekerja melalui penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan
regulasi. Foucault menolak pandangan yang menyatakan kekuasaan sebagai subjek
yang berkuasa (raja, negara, pemerintah, ayah, laki-laki) dan subjek yang
dianggap melarang, membatasi, atau menindas. Menurut Foucault, kuasa tidak
bersifat subjektif. Kuasa tidak bekerja dengan cara negatif dan represif,
melainkan dengan cara positif dan produktif. Kuasa mereprodusir realitas,
mereprodusir lingkup-lingkup objek-objek, dan ritus-ritus kebenaran. Strategi
kuasa tidak bekerja melalui penindasan, melainkan melalui normalisasi dan
regulasi, menghukum dan membentuk publik yang disiplin. Publik tidak dikontrol
lewat kekuasaan yang sifatnya fisik, tetapi dikontrol, diatur, dan disiplinkan
lewat wacana. Kekuasaan dalam pandangan Foucault disalurkan melalui hubungan
sosial, di mana memproduksi bentuk-bentuk kategorisasi perilaku sebagai baik
atau buruk, sebagai bentuk pengendalian perilaku. Relasi sosial itulah yang
memproduksi bentuk subjektivitas dan perilaku lebihdari secara sederhana
digambarkan sebagai bentuk restriksi. Jadi khalayak ditundukkan bukan dengan
cara kontrol yang bersifat langsung dan fisik, tetapi dengan wacana dan
mekanisme, berupa prosedur, aturan, tata cara, dan sebagainya. Masalah ini
terutama diuraikan oleh Foucault dalam bukunya, discipline and punish. Foucault menganalisis hilangnya bentuk
menghukum yang terjadi pada paruh kedua abad ke-18 berbentuk hukuman pancung
atau cambuk yang ditontonkan di depan publik digantikan oleh penjara hingga
kini. Hal ini tampak dalam pelaksanaan kuasa menghukum tubuh secara kejam
sambil mempertontonkan di depan publik, menuju pelaksanaan hukuman yang semakin
tidak meyentuh tubuh. Malahan arahnya menjadi teknologi normalisasi dan koreksi
terhadap individu yang menjadikan individu patuh dan berguna. Hukuman keji
dihapuskan dan diganti dengan hukuman yang tidak sewenang-wenang. Undang-undang
yang memuat ketentuan penghukuman ditetapkan. Kepada individu diberikan aturan
tertulis mengenai hukuman bagi setiap pelanggaran. Hukuman diterapkan bukan
untuk balas dendam, tetapi mencegah pengulangan tindak kejahatan. Pelaksanaan
hukuman diarahkan pada kesadaran, hasrat, dan kehendak individu, menjadi
penaklukan ide. Gagasan untuk berbuat jahat dkalahkan dengan pikiran beratnya
hukuman. Kuasa menghukum dilaksanakan lebih untuk menarik dan menimbulkan
kesadaran pada individu. Di dalam strategi baru ini, bukan lagi tubuh fisik
yang disentuh kuasa, melainkan jiwa, pikiran, kesadaran, dan kehendak individu
yang mampu menangkap tanda-tanda yang tersebar di dalam tubuh masyarakat. Di
dalam prosedur pemenjaraan, hukuman dilaksanakan bukan untuk menghapus
kejahatan atau penjahat, melainkan untuk mengoreksi, melatih, dan menormalkan
individu. Hukuman berfungsi untuk menjadikan individu patuh berguna dan
berguna. Mekanisme penghukuman bukan untuk menghukum tetapi juga pendisiplinan,
pengawasan, pengontrolan, pencatatan, dan sebagainya. Atau mengutip Dreyfus dan
Rabinow, proses penghukuman itu lebih lewat prosedur dan mekanisme untuk
mengontrol dan mengendalikan individu, daripada kontrol secara fisik. Dengan
mekanisme itu, seseorang dipaksa untuk mengikuti aturan dan mekanisme yang
telah diciptakan sehingga publik menjadi terkontrol, patuh dan disiplin.
Menurut Staple,
apa yang digambarkan oleh Foucault mengenai disiplin, normalisasi, dan kontrol
tersebut merupakan gambaran umum kehidupan modern atau kapitalisme. Dalam
kapitalisme, kehidupan pada dasarnya tidak diatur dan dikontrol lewat sebuah
kekuasaan yang sifatnya represif dan tunggal, tetapi lewat sebuah mekanisme,
aturan, dan tata cara yang mengontrol kehidupan masyarakat agar terkontrol dan
disiplin. Apa yang diuraikan oleh Foucault mengenai normalisasi dan disiplin
ini menjadi praktik kehidupan modern. Kekuasaan dalam masyarakat modern terutama
tidak bekerja secara terang-terangan dengan adanya raja yang memerintah atau
adanya otoritas individual yang berkuasa dan mengatur kehidupan seseorang.
Kekuasaan justru bekerja secara tidak terlihat, tanpa disadari dengan praktik
disiplinisasi. Teknik disiplinisasi ini diantaranya melalui penetapan aturan
dan berbagai prosedur kegiatan, jadwal, pelaksanaan, dan tujuan kegiatan yang
menghasilkan keteraturan. Kontrol juga
dilakukan dengan memberi ganjaran bagi yang mengikuti dan hukuman bagi yang
melanggar, bahkan kontrol mental lewat aturan moral dan agama. Lewat disiplin
tersebut, individu modern dikontrol tanpa dia sadari. Semakin dia merasa bebas,
sesungguhya semakin ia masuk dalam perangkap kekuasaan yang mengontrol dan
mengatur dirinya. Kehidupan di kantor, di jalan, di rumah sakit, sekolah,
semuanya menggambarkan keinginan akan control dan disiplin tersebut. Misalnya,
kehidupan di sekolah. Di sini tidak ada kekuasaan yang sifatnya represif dan
tunggal, guru tidak bisa mengawasi murid-muridnya satu per satu sepanjang hari
sebagai polisi moral. Akan tetapi, kehidupan di sekolah itu sendiri dikontrol
lewat serangkaian mekanisme: ujian untuk menguji penangkapan murid akan mata
pelajaran yang diberikan, mekanisme kenaikan kelas untuk mengukur keberhasilan
murid, dan rangking untuk melihat tingkat kepintaran murid. Semua mekanisme itu
membentuk jaring kekuasaan yang memaksa seorang murid mengikuti aturan sehingga
menjadi terkontrol, patuh, dan disiplin. Kalau
ia ingin naik kelas, ia harus belajar, harus masuk sekian kali, dan
sebagainya. Sebuah mekanisme yang sifatnya menyentuh psikis bukan pengawasan
dalam arti fisik yang dilakukan oleh guru secara terus-menerus. Di sini, ruang
kelas itu sendiri menjadi sebuah jaring kekuasaan yang menyebarkan wacananya
terus-menerus. Kepintaran seseorang diukur dari raport yang dia terima enam
bulan sekali, kalau buruk dia tidak akan naik kelas, dan kalau tidak naik kelas
ia akan dicap bodoh dan seterusnya.
Hal yang sama
terjadi di ruang-ruang kerja. Meskipun kekuasaan dan wewenang tertinggi ada
pada direktur, bukan berarti ia akan menjadi polisi yang akan mengawasi
pekerjanya terus-menerus, 24 jam. Pengawasan dan kontrol tidak berlangsung
dalam cara dan sifat semacam itu, tetapi lewat serangkaian mekanisme. Jenjang
karir, mekanisme tunjangan, gaji, absensi dan lainnya, yang pada dasarnya
adalah mekanisme yang mengontrol secara terus menerus keadaan psikis pekerja.
Mekanisme tersebut pada dasarnya juga membentuk individu yang diinginkan. Pekerja
yang baik adalah masuk kerja dari sekian sampai jam sekian, produktif,
menyelesaikan pekerjaan tepat waktu, tidak pernah bolos dan sebagainya.
Mekanisme, seperti jenjang karir, mengontrol dan mengidentifikasi mana pekerja
yang bagus dan berprestasi sehingga perlu diberi penghargaan, dan mana pekerja
yang tidak bagus sehingga perlu dihukum (dengan tidak menaikkan pangkat atau
gaji). Wacana seperti itu membentuk individu dan mengklasifikasikannya dalam
pekerja yang baik dan pekerja yang tidak baik.
Kontrol dan
membentuk individu yang patuh dan disiplin adalah wujud kekuasaan yang ada di
mana-mana. Bagi Foucault kekuasaan ada di mana-mana (omnipresent), yang selalu dinyatakan lewat hubungan, dan diciptakan
dalam hubungan yang menunjangnya. Kekuasaan selalu beroperasi melalui
konstruksi pengetahuan. Melalui wacana, hubungan antara kekuasaan di satu sisi
dengan pengetahuan di sisi lain terjadi. Foucault mengatakan bahwa hubungan simbol
dan yang disimbolkan itu bukan hanya referensial, melainkan juga produktif dan
kreatif. Simbol yang dihasilkan wacana itu, antara lain melalui bahasa,
moralitas, hukum, dan lainnya, yang tidak hanya mengacu pada sesuatu, melainkan
turut menghasilkan perilaku, nilai-nilai, dan ideologi. Kehidupan bukan diatur
lewat serangkaian represi, melainkan melalui kekuatanya memberikan definisi dan
melakukan regulasi. Berbagai regulasi itu diantaranya yang menentukan kita,
memilah, mengklasifikasikan, dan menggolongkan mana yang benar dan mana yang
salah, mana yang harus dilakukan dan mana yang harus dihindari, mana yang sah
dan manan yang tidak. Di sini, kekuasaan dipahami sebagai serangkaian prosedur
yang memproduksi, meyebarkan dan memproduksi pernyataan-pernyataan. Misalnya,
definisi normal dan abnormal jelas merupakan pendefinisian sosial. Lewat
definisi semacam ini, individu dikontrol bahwa yang normal dan baik sepert ini,
yang tidak normal sehingga tidak baik seprti itu. Kalau ingin baik dan disebut
normal, berperilakulah seperti ini, sebab kalau berperilaku seperti itu tidak
normal atau tidak baik. Hal yang sama terjadi pada pendefinisian sosial seperti
banci, wadam, homoseksual, yang kesemuanya merupakan kontrol social.
Pendefinisian ini senada dengan mekanisme kontrol terhadap orang-orang yang didefinisikan sebagai gila, nakal,
pezinah, sakit, komunis, liberal, kejantanan, kewanitaan, dan sebagainnya.
Hubungan kita dengan realitas diatur melalui berbagai wacana, yang menentukan
bagaimana sehahrsnya dan sebaiknya kita bertindak, mmbentuk kepercayaan,
konsep, dan ide-ide yang kita anut.
Melalui wacana,
individu bukan hanya didefinisikan tetapi juga dibentuk, dikontrol, dan
didisiplinkan. Misalnya, pembagian kerja dalam rumah tangga. Wacana yang
berkembang menyatakan laki-laki yang bekeja diluar rumah yang menghidupi
keluarganya sementara wanita berada di dalam rumah mengurusi rumah tangga dan
merawat anak-anak. Definisi pembagian kerja wanita dan laki-laki ini membentuk
individu bgaimana seharusnya laki-laki yang baik itu dan bagaimana pula menjadi
wanita yang baik. Keberhasilan laki-laki kalau ia bisa menghidupi keluarganya,
dan akan dianggap gagal kalau ekonomi rumah tangga kacau. Hal yang sebaliknya
dikenakan pada wanita. Kalau ada wanita yang bekerja, apalagi malam hari, akan
ditanggapi secara buruk menelantarkan anak-anak. Sehingga kalau karena
pekerjaanya itu, anak-anak menjadi tidak terurus dan nakal. Maka yang
disalahkan adalah wanita karena ia memang yang bertugas mendidik anak-anak.
Berbagai simbol wacana sperti moral (laki-laki baik seperti ini, wanita baik
seperti itu), aturan hukum (wanita yang bekerja malam hari harus meminta izin
dari suami) membentuk jarring bagaimana hubngan kekuasaan itu dikontrol dan
didisiplinkan.
A.
Produksi Wacana
Bagaimana terbentuknya
bangunan wacana? Studi analisis wacana bukan sekedar mengenai pernyataan,
tetapi juga struktur dan tata aturan dari wacana. Sebelum membahas mengenai struktur
diskursif, perlu diketahui bagaimana keterkaitan antara wacana dengan
kenyataan. Realitas dipahami di sini sebagai seperangkat konstruk yang dibentuk
melalui wacana. Realitas itu sendiri menurut Foucault, tidak bisa didefinisikan
jika kita tidak mempunyai akses dengan pembentukan struktur diskursif tersebut.
Kita mempersepsi dan bagaimana kita
menafsirkan objek dan peristiwa dalam sistem makna tergantung pada struktur
diskursif. Struktur diskursif ini, oleh
Foucault, membuat objek atau peristiwa terlihat nyata oleh kita. Struktur
wacana dari realitas itu, tidaklah dilihat sebagai system yang abstrak dan
tertutup.
Menurut Foucault,
pandangan kita tentang suatu objek dibentuk dalam batas-batas yang telah
ditentukan oleh struktur diskursif tersebut: wacana dicirikan oleh batasan
bidang dari objek, definisi dari perspektif yang paling dipercaya dan dipandang
benar. Persepsi kita tentang suatu objek dibentuk dengan dibatasi oleh praktik
diskursif: dibatasi oleh pandangan yang mendefinisikan sesuatu bahwa yang benar
dan yang lain tidak. Ini seperti kalau kita mendengar kata film india, maka
yang terbayang adalah film dengan nyanyian sambil menari, dengan tokoh utama
yang mengalahkan musuh birokrat atau pejabat pemerintah dan kepolisian yang
korup. Wacana tertentu membatasi pandangan khalayak, mengarahkan pada jalan
pikiran tertentu dan menghayati itu sebagai sesuatu yang benar. Atau dalam
bahasa Macdonell, wacana itu merupakan suatu arena di mana khalayak berpikir
dengan jalan tertentu, bukan yang lain.
Wacana membatasi
bidang pandangan kita, mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batas-batas yang
telah ditentukan. Ketika aturan dari wacana dibentuk, penyataan kemudian
disesuaikan dengan garis yang telah ditentukan. Di sini, pernyataan yang
diterima dimasukkan dan mengeluarkan pandangan yang tak diterima tentang suatu
objek. Objek bisa jadi tidak berubah,
tetapi struktur diskursif yang dibuat membuat objek menjadi berubah. Sara Mills
memberi contoh bakteri di lautan, apakah didefinisikan sebagai hewan ataukah
tumbuhan. Pada masa lalu, makhluk ini dikategorikan dan diklasifikasikan
sebagai hewan, tetapi kini ia diklasifikasikan dan dikategorikan sebagai
tumbuhan. Tidak ada yang berubah dari makhluk ini, perbedaan justru karena
struktur diskursif yang mengarahkan dan membatasi kita melihat bakteri lautan
itu sebagai tumbuhan bukan hewan, dan kemudian memperlakukan dan mempelajari
dan menempelkan sifat-sifat kepada makhluk itu sebagai tumbuhan. Contoh yang
paling dramatis barangkali adalah bagaimana struktur diskursif yang dibangun
tentang PKI sebagai partai terlarang. Pada masa orde lama partai ini adalah
partai resmi bahkan masuk dalam lima besar partai yang memperoleh suara
terbanyak. Di masa orde baru, PKI justru menjadi partai terlarang dengan
berbagai keburukannya. Tidak ada yang berubah dari PKI ini (sebagai objek),
tetapi yang membuat ia terlarang adalah struktur diskursif yang secara sengaja
dibangun orde baru bahwa PKI ini partai yang suka memberontak dan anti-tuhan.
Wacana semacam ini membatasi lapangan pandangan sehingga ketika PKI dibicarakan
yang muncul adalah kategori PKI sebagai partai pemberontak dan anti-Tuhan,
bukan yang lain.
Wacana membentuk
dan mengkonstruksikan peristiwa tertentu
dan gabungan dari peristiwa-peristiwa tersebut dalam narasi yang dapat
dikenali oleh kebudayaan tertentu. Dalam prosesnya, kita mengkategorisasikan
dan menafsirkan pengalaman dan peristiwa mengikuti struktur yang tersedia dan
dalam menafsirkan tersebut kita sukar keluar dari struktur diskursif yang terbentuk. Struktur diskursif tersebut adalah bangunan besar, dan secara
sistematis batas-batas itu berbentuk sebuah episteme, perangkat dari struktur
diskursif sebagai suatu keseluruhan melalui mana kebudayaan berpikir. Melalui
episteme itu, kita mengerti dan memahami suatu objek dengan pernyataan dan
pandangan tertentu, dan tidak yang lain. Unit-unit diskursif ini mengasumsikan
koherensi dan kohesivitas sebagai suatu ide.
Sehingga kita bisa mengatakan sebagai “pandangan orde baru” atau
“pandangan orde lama”, dan sebagainya.
Misalnya,
struktur diskursif yang dibentuk oleh
orde baru. Salah satu yang kuat adalah normalisasi. Dalam praktik diskursif
yang dibangun orde baru, agar pembangunan dapat berjalan maka keadaan harus
normal, stabil, yang memungkinkan terjadinya pembangunan. Salah satu aspek yang
harus ditata adalah partai politik, karena partai politik adalah sumber
konflik. Partai politik dalam sejarahnya selalu egois, lebih mementingkan
kepentingan partainya, sehingga pemerintahan tidak dapa berjalan karena selalu
ganti pemerintahan. Agar tidak terjadi demikian, sumber konflik itu dibuat
normal, ditata kembali sehingga partai politik tidak menjadi penghalang kelangsungan
pembangunan. Partai politik harus disederhanakan, dan dibatasi geraknya.
Struktur diskursif inilah yang dibangun oleh orde baru dan disebarkan lewat
pernyataan pidato dari pejabat pusat sampai daerah, lewat buku-buku ajar
sekolah, dan sebagainya. Bagaimana struktur diskursif ini bekerja dapat dilihat
dari bgaimana cara berpikir kita didikte
agar berpikir dan berpandangan dalam batas-batas yang telah ditentukan oleh
struktur diskursif, bukan dengan yang lain. Kalau pemerintah menghendaki
seseorang menjadi pemimpin partai tertentu, tindakan tersebut tidak dilihat
sebagai intervensi dan otoriterianisme tetapi upaya menata kehidupan politik.
B. Wacana terpinggirkan
Menurut Michel Foucault, ciri utama
wacana ialah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan wacana yang berfungsi
membentuk melestarikan hubungan-hubungan kekuasaan dalam suatu masyarakat. Dalam banyak kajiannya mengenai penjara,
seksualitas, dan kegilaan, Foucault menunjukkan bahwa konsep seperti gila,
tidak gila, sehat, sakit, benar, dan salah, bukanlah konsep abstrak yang datang
dari langit tetapi dibentuk dan lestrikan oleh wacana-wacana yang berkaitan
dengan bidang-bidang psikiatri, ilmu kedokteran, serta ilmu pengetahuan pada
umumnya. Dalam suatu masyarakat biasanya terdapat berbagai macama wacana yang berbeda
satu sama lain, namun kekuasaan memilih dan mendukung wacana tertentu sehingga
wacana tersebut menjadi dominan, sedangkan wacana-wacana lainnya akan
“terpinggirkan” (marginalized) atau
“terpendam” (submerged).
Ada dua konsekuensi dari wacana
dominan tersebut. Pertama, wacana dominan memberikan arahan bagaimana suatu
objek harus dibaca dan dipahami. Pandangan yang lebih luas menjadi terhalang,
karena ia memeberikan pilihan yang tersedia dan siap pakai. Pandangan
dibatasi hanya dalam batas-batas
struktur diskursif tersebut, tidak dengan yang lain. Kedua, struktur diskursif
yang tercipta atas suatu objek tidaklah berarti kebenaran. Batas-batas yang
tercipta tersebut bukan hanya membatasi pandangan kita, tetapi juga menyebabkan
wacana lain yang tidak dominan menjadi terpinggirkan. Setiap kekuasaan pada
dasarnya berusaha membentuk pengetahuannya sendiri, menciptakan rezim kebenaran sendiri. Kekuasaan selalu datang
dengan memproduksi suatu ekonomi politik kebenaran, melalui mana kekuasaan
dengan begitu dimapankan, disusun, dan diwujudkan serta dilestarikan. Oleh
karena itu, dalam analisis wacana kita perlu melihat bagaimana produksi wacana
atas suatu hal diproduksi dan bagaimana repreduksi itu dibuat oleh kelompok
atau elemen dalam masyarakat. Misalnya
kita akan mengadakan analisis mengenai bagaimana wacana komunisme
ditampilkan dalam pemberitaan media. Pertama kali harus kita lakukan adalah
melihat bagaimana produksi kebenaran mengenai peristiwa komunisme itu dari
berbagai kelompok. Yang dilihat dalam analisis wacana bukanlah apa yang
sebenarnya terjadi, tetapi bagaimana setiap kelompok, terutama yang terutama
yang berkuasa, memproduksi kebenaran atas suatu wacana. Produksi kebenaran
wacana itu terutama akan disebarkan dengan berbagai organ yang dia punyai.
Komunisme adalah suatu wacana paling
penting dalam kekuasaan orde baru. Orde baru membangun wacana tentang
komunisme yang menentukan bagaimana
komunisme itu harus dipandang dipahami.
Suatu proyek yang melibatkan hamper semua institusi dan disebarkan keseluruh
organnya. Lewat sekolah-sekolah dan institusi pendidikan disebarkan pengajaran
sejarah yang menggambarkan bagaimana kekuatan komunis itu buruk sekali. Lewat
birokrasi dengan membedakan perlakuan yang berbeda kepada yang dituduh punya
kaitan atau orang tuanya komunis. Lewat institusi militer, dilakukan dengan melarang
orang yang punya indikasi komunis masuk militer. Lewat pemerintah, dengan
penerapan litsus. Dan lewat institusi kemasyarakatan dengan pemberian kode
tertentu kepada mereka yang diindikasikan punya hubungan dengan komunis dan punya
potensi mempunyai ideologi komunis. Dengan penyebaran serentak semacam itu
khalayak didikte untuk memandang komunisme sabagi sesuatu yang berbahaya
sekaligus sebagai kekuatan yang harus diwaspadai karena setiap saat bisa
bangkit.
Dan inilah pengetahuan yang
disebarkan oleh orde baru. Ciri-ciri komunis itu anti-Tuhan, bahkan menganggap
orang beragama sebagai musuh. Dalam berpolitik, komunis menghalalkan segala cara termasuk melakukan teror terhadap lawan-lawan politik, bahkan kalau
perlu dengan pembantaian.
Strategi politiknya dilakukan dengan
memprovokasi rakyat bawah, petani tak bertanah, atau buruh pabrik untuk melakukan
aksi sepihak dengan kaum kapital. Dalam berpolitik, komunisme, oportunis,
sering kali menusuk dari belakang, memberontak dan sebagainya. Pengetahuan
inilah yang ditanamkan ke benak khalayak dikontrol, diatur, didisiplinkan bukan
dengan jalan fisik, tetapi lebih kepemikiran, ide sehingga selalu waspada
dengan kekuatan komunis. Selain wacana resmi yang diproduksi oleh Negara
puluhan tahun tersebut ada wacana lain terutama yang dikembangkan oleh
aktivitis mahasiswa, intelektual, dan LSM. Wacana itu diantaranya
mengungkapkomunisme hanya dijadikan alat oleh kepentingan militer dan orde baru
untuk memperkokoh dan memperkuat posisi
politiknya.
Sekarang kita lihat bagaimana berita
mengenai komunisme ini dalam pemberitaan media (republika, 29 Maret 2000).
Berita ini adalah salah satu dari sekian banyak berita mengenai komunisme yang
dipicu oleh usulan Gus Dur untuk mencabut Tap MPRS mengenai komunisme. Dari
berita tersebut terlihat bagaimana media lebih mereproduksi wcana yang
dikembang oleh orde baru. Dalam teks berita tersebut, PKI digambarkan pernah
melakukan kudeta/ pemberontakan kepada pemerinta yang sah. Peristiwa yang diacu
adalah G30S/PKI dan peristiwa pemberontakan PKI Muso 1948. Dalam berpolitik PKI
melakukan segala cara untuk mencapai tujuannya: meneror, main klaim tanah,
menyerobot tanah, dan sebagainya. Cara-cara yang dipandang dapat memprovokasi
keresahan dan keguncangan sosial. PKI juga tidak segan-segan melakukan
pembantaian terhadap lawan-lawan politiknya dan pihak yang dianggap menghambat
tujuan politiknya. Dengan membeberkan sejarah yang buruk, hendak ditekankan di
sini bahwa PKI tidak bbisa dipercaya dan selalu menimbulkan kesengsaraan
masyarakat. Pengalaman sejarah semacam inilah yang harus menjadi pelajaran dan
hikmah agar tidak main-main dengan memperbolehkan hadirnya PKI kembali.
Teks berita tersebut juga
mengembangkan wacana kemungkinan kalau komunisme bangkit kembali di Indonesia.
Dalam wacana ini, mencabut tap MPRS berarti memberi kemungkinan PKI hidup kembali. Dengan pencabutan tap itu
PKI dapat menjadi partai politik yang sah dan dapat menjalankan kegiatannya
seperti dahulu. Kondisi sosial ekonomi dan politik Indonesia saat ini lahan
subur bagi bangkitnya komunisme. Pada saat ketika ekonomi masyarakat Indonesia
melorot jauh, ketika kesenjangan anatara penduduk miskin dan kaya sangat tajam,
ide-ide komunis yang memperjuangkan kepentingan masyarakat bawah akan banyak
menarik perhatian masyarakat. Selain itu, ketidakstabilan politik yang
ditandai dengan perebutan suara dan
persaingan antarpartai politik dipandanng sebagai situasi yang disukai oleh
komunis. Retorika yang banyak dimunculkan adalah adanya paralelisme
antara keadaan sosial ekonomi dan politik pada masa 1960-an ditekankan bahwa
komunisme sangat mudah hidup ketika masyarakatnya berada dalam kemiskinan, dan
akan sukar kalau masyarkatnya makmur. Oleh karena itu, ide pencabutan Tap MPRS belum saatnya karena hanya akan
dimanfaatkan oleh kekuatan PKI.
Proses terpinggirkannya wacana dalam proses pmberitaan ini membawa beberapa
implikasi. Pertama khalayak tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan informasi
yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu peristiwa. Di sini tidak harus
dikatakan bahwa wacana yang terpinggirkan adalah wacana yang benar mengenai
suatu peristiwa, tetapi karena tidak banyak ragam perspektif dari suatu wacana
maka dimensi peristiwa tidak lengkap. Kedua, bisa jadi peminggiran wacana
menunjukkan praktik ideologi. Sering kali seseorang, suatu kelompok tertentu,
suatu gagasan, tindakan, kegiatan terpinggirkan dan menjadi marjinal lewat
penciptaan wacana-wacana tertentu. Rasialisme muncul lewat wacana yang
berkembang yang menganggap orang kulit hitam sebagai warga kelas dua, identik
dengan kemalasan, kriminalitas, dan obat
bius. Wanita juga termajinalkan lewat terbentuknya wacana dominan bahwa mereka
lemah, di bawah laki-laki, keibuan, berada di sektor privat, dan sebagainya.
SIMPULAN
Wacana menurut pandangan Foucault tidaklah
dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi merupakan
sesuatu yang memproduksi yang lain ( gagasan, konsep, atau efek). Wacana dapat
dideteksi karena secara sistematis suatu ide, opini, konsep, dan pandangan
hidup dibentuk dalam suatu konteks tertentu sehingga mempengaruhi cara berpikir
dan bertindak tertentu.
Bagi Foucault,
kekuasaan selalu terakulasikan lewat pengetahuan, dan pengetahuan selalu punya
efek kuasa. Penyelenggaraan kekuasaan, menurut Foucault, selalu memproduksi
pengetahuan sebagai basis kekuasaannya. Kuasa memprodusir pengetahuan dan bukan
saja karena pengetahuan berguna bagi kuasa. Tidak ada pengetahuan tanpa kuasa,
dan sebaliknya tidak ada kuasa tanpa pengetahuan. Konsep Foucault ini membawa
konsekuensi, untuk mengetahui kekuasaan dibutuhkan penelitian mengenai produksi
pengetahuan yang melandasi kekuasaan. Karena setiap kekuasaan disusun,
dimapankan, dan diwujudkan lewat pengetahuan dan wacana tertentu. Wacana
tertentu menghasilkan kebenaran dan pengetahuan tertentu yang menimbulkan efek
kuasa.
Struktur
diskursif ini, oleh Foucault, membuat objek atau peristiwa terlihat nyata oleh
kita. Struktur wacana dari realitas itu, tidaklah dilihat sebagai sistem yang
abstrak dan tertutup. Wacana membatasi
bidang pandangan kita, mengeluarkan sesuatu yang berbeda dalam batas-batas yang
telah ditentukan. Ketika aturan dari wacana dibentuk, penyataan kemudian
disesuaikan dengan garis yang telah ditentukan. Di sini, pernyataan yang
diterima dimasukkan dan mengeluarkan pandangan yang tak diterima tentang suatu
objek. Objek bisa jadi tidak berubah,
tetapi struktur diskursif yang dibuat membuat objek menjadi berubah.
Proses terpinggirkannya wacana dalam proses pmberitaan membawa beberapa
implikasi. Pertama, khalayak tidak diberi kesempatan untuk mendapatkan
informasi yang beragam dari berbagai sudut mengenai suatu peristiwa. Di sini tidak
harus dikatakan bahwa wacana yang terpinggirkan adalah wacana yang benar
mengenai suatu peristiwa, tetapi karena tidak banyak ragam perspektif dari
suatu wacana maka dimensi peristiwa tidak lengkap. Kedua, bisa jadi peminggiran
wacana menunjukkan praktik ideologi. Sering kali seseorang, suatu kelompok
tertentu, suatu gagasan, tindakan, kegiatan terpinggirkan dan menjadi marjinal
lewat penciptaan wacana-wacana tertentu.
Sumber:
Eriyanto. 2001. Analisis Wacana: Pengantar Analisis Teks
Media. Yogyakarta: PT LKiS Pelangi
Aksara.